Jika Orang Tua Menyuruh untuk Menceraikan Istri
Dalam pembicaraan ini, setidaknya terdapat tiga riwayat
yang berkaitan yaitu :
عَنْ
عَبْدِ
اللهِ
بْنِ
عُمَرَ،
قَالَ
: كَانَتْ
تَحْتِي
امْرَأَةٌ،
وَكُنْتُ
أُحِبُّهَا،
وَكَانَ
عُمَرَ
يَكْرَهُهَا!
فَقَالَ
لِي :
طَلِّقْهَا،
فَأَبَيْتُ،
فَأَتَى
عُمَرُ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
فَذَكَرَ
ذَلِكَ
لَهُ،
فَقَالَ
النَّبِيُّ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
: ((طَلِّقْهَا)).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ia berkata : “Aku mempunyai
seorang istri yang sangat aku cintai, akan tetapi ‘Umar membencinya. (Satu
ketika) ‘Umar berkata kepadaku : ‘Ceraikanlah ia!’. Aku enggan (memenuhi
permintaannya). Maka ‘Umar mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
kemudian menceritakan perihal tersebut. (Mendengar hal itu), maka Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Ceraikanlah ia’” [HR. Abu Dawud no.
5138, At-Tirmidzi no. 1189, dan Ibnu Majah no. 2088; dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/262].
عَنْ
أَبِي
الدَّرْدَاءِ :
أَنَّ
رَجُلاً
أَتَاهُ،
فَقَالَ
: إِنَّ
لِيَ
امْرَأَةً،
وَإِنَّ
أُمِّي
تَأْمُرُنِي
بِطَلَاقِهَا.
قَالَ
أَبُو
الدَّرْدَاءِ :
سَمِعْتُ
رَسُولُ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَقُولُ
: الْوَالِدُ
أَوْسَطُ
أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ،
فَإِنْ
شِئْتَ،
فَأَضِعْ
ذَلِكَ
الْبَابَ
أَوِ
احْفَظْهُ
Dari Abud-Dardaa’ : Bahwasannya ada seorang laki-laki
mendatanginya, dan kemudian ia berkata : “Sesungguhnya aku mempunyai seorang
istri. Ibuku menyuruhku untuk menceraikannya”. Maka Abud-Dardaa’ berkata : “Aku
mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Orang tua adalah
pintu-pintu surga yang paling tengah. Apabila engkau mau, maka janganlah engkau
sia-siakan pintu tersebut atau jagalah ia” [HR. At-Tirmidzi no. 1900 dan Ibnu
Majah no. 2089; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
2/341].
Dalam satu hadits yang panjang, Al-Imam Al-Bukhari membawakan kisah tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam yang mengunjungi anaknya (yaitu Nabi Isma’il ‘alaihis-salaam) yang ketika itu tidak berada di rumah :
Dalam satu hadits yang panjang, Al-Imam Al-Bukhari membawakan kisah tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam yang mengunjungi anaknya (yaitu Nabi Isma’il ‘alaihis-salaam) yang ketika itu tidak berada di rumah :
ثُمَّ
سَأَلَهَا
عَنْ
عَيْشِهِمْ
وَههَيْئَتِهِمْ،
فَقَالَتْ
: نَحْنُ
بَشَرٌ،
نَحْنُ
فِي
ضِيْقٍ
وَشِدَّةٍ،
فَشَكَتْ
إلَيْهِ،
قَالَ
: فَإِذَا
جَاءَ
زَوْجُكِ
فَاقْرَئِي
عَلَيْهِ
السَّلَام،
وَقُوْلِي
لَهُ
يُغَيِّرُ
عَتَبَةَ
بَابِهِ،
فَلَمَّا
جَاءَ
إِسْمَاعِيْلُ
كَأَنَّهُ
أَنَسَ
شَيْئاً،
فَقَالَ
: هَلْ
جَائَكُمْ
مِنْ
أَحَدٍ
؟.
قَالَتْ :
نَعَمْ،
جَائَنَا
شَيْخٌ
كَذَا
وَكَذَا،
فَسَأَلَنَا
عَنْكَ
فَأَخْبَرْتُهُ،
فَسَأَلَنِيْ
كَيْفَ
عَيْشُنَا،
فَأَخْبَرْتُهُ
أنَّا
فِي
چَهْدٍ
وَشِدَّةٍ،
قَالَ
: فَهَلْ
أَوْصَاكِ
بِشَيْءٍ
؟
قَالَتْ :
نَعَمْ،
أَمَرَنِي
أَنْ
أَقْرَأَ
عَلَيْكَ
السَّلَامَ،
وَيَقُولُ
: غَيِّرْ
عَتَبَةَ
بَابِكَ.
قَالَ
: ذَاكَ
أبِي،
وَقَدْ
أَمَرَنِي
أَنْ
أُفَارِقُكِ،
الْحَقِي
بِأَهْلِكِ،
فَطَلَّقَهَا،
فَتَزَوَّجَ
مِنْهُمْ
أُخْرَى
“…..Kemudian Ibrahim bertanya tentang kehidupan dan kondisi
keluarga Isma’il, lalu istri Isma’il menjawab : “Kami ini hidup dalam
kesengsaraan”. Istri Isma’il mengadu kepada Ibrahim. Ibrahim mengatakan : “Kalau
suamimu datang, sampaikan salamku kepadanya bahwa aku menyuruhnya mengganti
palang pintu rumah ini”. Ketika Isma’il datang, ia sepertinya merasakan sesuatu
yang baru terjadi, lalu ia bertanya kepada istrinya : “Apakah ada seseorang yang
telah datang kepadamu ?”. Istrinya menjawab : “Ya, kami didatangi laki-laki tua
begini dan begini. Laki-laki tua itu bertanya kepadaku mengenai kehidupan kita,
kemudian aku memberitahu kepadanya bahwa kita hidup dalam kesengsaraan”. Isma’il
bertanya lagi : “Apakah laki-laki tua itu meninggalkan pesan kepadamu ?”.
Istrinya menjawab : “Ya, ia menyuruhku menyampaikan salamnya kepadamu dan dia
mengatakan bahwa engkau harus mengganti ambang pintu rumahmu”. Isma’il berkata :
Dia adalah ayahku dan dia menyuruhku untuk menceraikanmu. Kamu akan aku antar
pulang ke rumah keluargamu”. Setelah Isma’il menceraikan istrinya itu, ia
menikah lagi dengan perempuan yang lain (dari suku Jurhum)…” [HR. Al-Bukhari no.
3364].
Sebagian ulama ber-istinbath dengan hadits-hadits di atas bahwasannya jika orang tua menyuruh anaknya untuk menceraikan istrinya, maka wajib baginya untuk mentaatinya (untuk menceraikannya).[1]
Akan tetapi sebagian ulama lain mengatakan bahwa jika orang tua menyuruh kita untuk menceraikan istri kita, maka tidak wajib untuk melaksanakannya. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang seseorang yang telah mempunyai istri dan anak, kemudian ibunya tidak suka kepadanya serta mengisyaratkan agar mencerikannya, apakah ia boleh mencerikannya ?. Maka beliau menjawab :
Sebagian ulama ber-istinbath dengan hadits-hadits di atas bahwasannya jika orang tua menyuruh anaknya untuk menceraikan istrinya, maka wajib baginya untuk mentaatinya (untuk menceraikannya).[1]
Akan tetapi sebagian ulama lain mengatakan bahwa jika orang tua menyuruh kita untuk menceraikan istri kita, maka tidak wajib untuk melaksanakannya. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang seseorang yang telah mempunyai istri dan anak, kemudian ibunya tidak suka kepadanya serta mengisyaratkan agar mencerikannya, apakah ia boleh mencerikannya ?. Maka beliau menjawab :
لا
يحل
له
أن
يطلقها
لقول
أمه،
بل
عليه
أن
يبر
أمه،
وليس
تطليق
امرأته
من
برها.
والله
أعلم
“Tidak boleh baginya untuk menceraikannya karena perkataan
ibunya itu. Akan tetap wajib baginya untuk tetap berbakti pada ibunya.
Mencerikan istri bukan termasuk katagori berbakti kepada ibu. Wallaahu a’lam.[2]
Ada yang bertanya kepada Imam Ahmad : ”Apakah boleh menceraikan istri karena orang tua menyuruh untuk menceraikannya ?”. Imam Ahmad berkata : “Jangan kamu ceraikan”. Orang tersebut bertanya lagi : “Tetapi bukankah ‘Umar pernah menyuruh anaknya (Ibnu ‘Umar) mencerikan istrinya ?”. Imam Ahmad berkata : “Boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan ‘Umar, karena ‘Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu”.[3]
Dalam menyikapi perbedaan pendapat ini, para ulama berusaha menggabungkannya yaitu apabila istri termasuk orang yang shalihah, maka perintah untuk menceraikan tidak wajib untuk dituruti. Namun apabila istri termasuk wanita yang tidak taat kepada suaminya, berbuat banyak kemaksiatan dan kefasiqan; setelah suami menasihati dan meng-hajr-nya (yaitu memboikotnya dengan tidak mengajaknya bicara dan pisah ranjang) si istri tetap saja nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikannya ini wajib untuk ditaati. Wallaahu a’lam.
Ada yang bertanya kepada Imam Ahmad : ”Apakah boleh menceraikan istri karena orang tua menyuruh untuk menceraikannya ?”. Imam Ahmad berkata : “Jangan kamu ceraikan”. Orang tersebut bertanya lagi : “Tetapi bukankah ‘Umar pernah menyuruh anaknya (Ibnu ‘Umar) mencerikan istrinya ?”. Imam Ahmad berkata : “Boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan ‘Umar, karena ‘Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu”.[3]
Dalam menyikapi perbedaan pendapat ini, para ulama berusaha menggabungkannya yaitu apabila istri termasuk orang yang shalihah, maka perintah untuk menceraikan tidak wajib untuk dituruti. Namun apabila istri termasuk wanita yang tidak taat kepada suaminya, berbuat banyak kemaksiatan dan kefasiqan; setelah suami menasihati dan meng-hajr-nya (yaitu memboikotnya dengan tidak mengajaknya bicara dan pisah ranjang) si istri tetap saja nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikannya ini wajib untuk ditaati. Wallaahu a’lam.
Ditulis oleh Abul-Jauzaa’ berdasarkan penjelasan Ustadz
kami Yazid bin ‘Abdil-Qadir Jawas hafidhahullah pada buku Birrul-Walidain (Berbakti
kepada Kedua Orang Tua), hal. 89-94, Daarul-Qalam, Cet. 2/1425 dengan beberapa
perubahan dan penyesuaian.
Catatan kaki :
[1] Tuhfatul-Ahwadzi 4/368 oleh Al-Mubarakfury
dan Nailul-Authaar 7/4 oleh Asy-Syaukani.
[2] Majmu’ Al-Fataawaa 33/112 oleh
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
[3] Masaail min-Fiqhil-Kitaab was-Sunnah
hal. 27 oleh Dr. ‘Umar Sulaiman Al-Asyqar.
Label: Keluarga
Sumber artikel : abul Jauzaa
Perumnas I Jl. Selada Raya Kota Tangerang By Rachmat Machmud