Alasan Mengapa
Nabi Muhammad Mempunyai Kedudukan Yang Tinggi
Salah satu jawabannya adalah karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling
berat ujiannya dan yang paling sabar.
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: «الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ
فَالأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ
دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ
ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ البَلَاءُ بِالعَبْدِ حَتَّى
يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Dari Mus’ab dari Sa’ad dari bapaknya berkata, aku berkata,
“Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?”
Kata beliau: “Para Nabi, kemudian yang semisal
mereka dan yang semisal mereka.
Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien
(keimanannya). Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang
dirasakannya; kalau diennya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya.
Dan seseorang akan senantiasa ditimpa ujian demi ujian
hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai
dosa.” (HR. At-Tirmidzi no.2398, dishahihkan oleh syaikh Al-Albani)
Mari kita tinjau ujian dan kesabaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin kita tidak
membandingkannya dulu dengan manusia biasa seperti ulama dan orang
sholih atau para sahabat radhiallahu ‘anhum tetapi kita bandingkan
dengan sesama para nabi ‘alaihimussalam. Sehingga beliau mendapatkan
kedudukan lebih diatas para nabi yang lain.
Pertama:
Ketika Nabi Sulaiman ‘alaihis salam berdoa dan memohon
meminta diberi kerajaan:
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا
لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Pemberi.” (QS. Shad: 38)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memilih hidup sederhana sebagai hamba ketika ditawarkan kerajaan, hal ini
agar menjadi contoh bagi semesta alam bahwa beliau tidak punya urusan yang
banyak di dunia.
كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يُحَدِّثُ، أَنَّ اللهَ أَرْسَلَ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَلَكًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ
مَعَ الْمَلَكِ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ لَهُ الْمَلَكُ: يَا
مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ عَزَّ جَلَّ يُخَيِّرُكَ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ نَبِيًّا
عَبْدًا، أَوْ نَبِيًّا مَلِكًا، فَالْتَفَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَالْمُسْتَشِيرِ، فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَنْ
تَوَاضَعْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَلْ
نَبِيًّا عَبْدًا»
“Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menceritakan bahwa Allah
pernah mengutus salah satu malaikat bersama malaikat Jibril
‘alaihissalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. kemudian
malaikat tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla
memberikan pilihan bagimu (Muhammad), apakah engkau mau menjadi sebagai
seorang hamba dan Nabi, ataukah engkau mau menjadi sebagai seorang nabi dan
raja?”. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menoleh kepada Jibril seolah-olah meminta pendapat beliau, maka
Jibril memberi isyarat kepada Nabi agar beliau tawadhu. Kemudian
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata, “Aku ingin menjadi
sebagai seorang nabi dan hamba”. (Mu’jam Kabir litthabrani no.10686,
tahqiq Hamdi bin Abdul majid As-Salafi, Mu’jam Al-Aushoth no. 6937 dan
Az-Zuhdi Al-Kabir lilbaihaqi no. 447)
Kedua:
Ketika Nabi Nuh ‘alaihis salam berdakwah kepada kaumnya
dan tidak ada yang mau beriman kecuali sedikit sekali, maka nabi
Nuh‘alaihissalam berdoa agar semua orang kafir tersebut dimusnahkan
seluruhnya dari muka bumi dengan banjir besar:
وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ
عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّاراًْ وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ
عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّاراً
Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan
seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya
jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan
hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat
ma’siat lagi sangat kafir.’ (QS. Nuh: 26-27)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdakwah ke Thoif sekaligus meminta perlindungan. Kemudian
mereka menolak bahkan mengejek dan mencaci
maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,mengusir melempar
dengan batu sampai tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia sampai berdarah-darah.
Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam malahan mendoakan mereka,
أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ
أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi
mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya
dengan apa pun” (HR. Bukhari no. 3231)
Begitu juga ketika Nabi Yunus ‘alaihis
salam berdakwah kepada kaumnya dan kemudian menolaknya, maka beliau
terlalu cepat meninggalkan kaumnya dan akhirnya beliau masuk ke perut ikan.
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا
تَكُن كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَى وَهُوَ مَكْظُومٌْ لَوْلَا أَن
تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّن رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاء وَهُوَ مَذْمُومٌْ
فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan
Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan
ketika ia berdo’a sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya). Kalau
sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia
dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya
dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh”.(QS. Al Qolam: 48-50)
Ketiga:
Ketika nabi
Ayyub alaihissalam menghadapi nusyuz [ketidakpatuhan]
istrinya, maka beliau bersumpah akan memukulnya 100 kali, kemudian
Allah Ta’ala dalam Al-Quran memberikan jalan keluar agar beliau
tidak membatalkan sumpah dan tidak juga menyakiti istrinya.
وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثاً فَاضْرِب
بِّهِ وَلَا تَحْنَثْ إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِراً نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ
أَوَّابٌ
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah
dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia
(Ayyub) seorang yang sabar.
Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta’at
(kepada Tuhan-nya) .” (QS. Shaad: 44)
Ketika semua istri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam nusyuz [tidak patuh], maka beliau tidak langsung
marah, langsung main pukul ataupun langsung mengancam cerai. Tetapi beliau
menjauhi semua istrinya selama sebulan.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengalah dengan tinggal dikandang unta atau di riwayat lain
di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah tidak dengan mengusir
mereka dari rumah beliau. اِعْتَزَلَ نِسَاءَهُ شَهْرًا “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjauhi istri-istrinya selama sebulan.” (HR. Muslim II/763 no 1084 dari
Jabir bin Abdillah)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi
sebulan agar para istri tersebut bisa berpikir jernih tentang apa akibat yang
mereka perbuat. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل
لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا
فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاًْ وَإِن
كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ
أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْراً عَظِيماً
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian
menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan
memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan
jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan)
di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang
baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 28)
Keempat:
Ketika nabi Musa ‘alaihis salam pulang dari bukit
Thursina dan mendapati kaumnya membuat sesembahan sapi betina. Sedangkan saat
itu Nabi Harun ‘alaihissalam yang merupakan teman seperjuangan nabi
Musa bersama mereka. Maka Nabi Musa langsung marah (karena Allah)
kepada Nabi Harun ‘alaihissalam,kemudian melempar kitab suci Taurat dan
menarik Nabi Harun ‘alaihissalam, baru kemudian nabi Harun
‘alaihissalam menyampaikan udzur/alasan, Al-Quran menceritakan,
قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ
رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا * أَلا
تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي * قَالَ
يَا ابْنَ أُمَّ لا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ
تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي
“Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika
kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka
apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?”. Harun menjawab: “Hai
putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku;
sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah
memecah antara Bani Israel dan kamu tidak memelihara amanatku” (QS.
Thaha : 92-94).
Dan di surat yang lain,
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَى إِلَى
قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفاً قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِن بَعْدِيَ
أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ وَأَلْقَى الألْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ
يَجُرُّهُ إِلَيْهِ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي
وَكَادُواْ يَقْتُلُونَنِي فَلاَ تُشْمِتْ بِيَ الأعْدَاء وَلاَ تَجْعَلْنِي
مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah
dan sedih hati berkatalah dia: “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu
kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu ?
Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala
saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: “Hai anak
ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir
mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku,
dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang
zalim”. (QS. Al A’raf: 150)
Maka ketika salah seorang teman seperjuangan beliau
(sahabat) melakukan pembocoran rahasia penyerangan ke Mekkah kepada orang
kafir di Mekkah.
Ini adalah pengkhianatan besar, akan tetapi Beliau
memaafkannya karena sahabat tersebut punya ‘uzdur/alasan.
Sahabat tersebut adalah Hatib bin
Balta’ah radhiallahu ‘anhu.
Ketika Umar bin Al Khattab radhiallahu
‘anhu menawarkan diri, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal
lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap
munafik.
”Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan
bijak menjawab,“
Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar…
(Allah berfirman tentang pasukan Badar):
Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya
ampuni.”Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya
lebih mengetahui.”
Kisah adalah Hatib bin Balta’ah radhiallahu
‘anhu diabadikan dalam Al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ
بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ
الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu
dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (QS. Al
Mumtahanah: 1]
Demikianlah perbandingan Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam dengan para Nabi yang lain.
Perlu diingat, ini bukan berarti nabi yang lain tidak
sabar dan tidak berat ujiannya. Lihatlah bagaimana kisah cobaan berat nabi
Ayyub ‘alaihissalam, kisah perjuangan berat dan panjang nabi
Musa ‘alaihis salam melawan Fir’aun dan kerasnya hati bani
Israil, kisah kesabaran nabi Sulaiman yang tidak menggunakan kerajaannya
untuk berlaku zhalim dan foya-foya.
Setelah mengetahui perbandingan ini perlukah kita
membandingkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallamdengan sahabat,
para ulama dan orang-orang shalih?
Atau membandingkan dengan ujian dan cobaan serta kesabaran
kita yang sedikit saja terkena ujian langsung berkeluh kesah?
Kemudian bentuk ujian dan cobaan lebih berat Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam yang lain:
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam jika
demam, maka jika sakit, beratnya dua kali lipat:
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu dia
berkata:
Aku pernah menjenguk Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika sakit, sepertinya beliau sedang merasakan rasa sakit
yang parah.
Maka aku berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا؟ قَالَ: «أَجَلْ، إِنِّي أُوعَكُ كَمَا
يُوعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ» قُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ قَالَ: «أَجَلْ، ذَلِكَ كَذَلِك
“Sepertinya anda sedang merasakan rasa
sakit yang amat berat”, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammenjawab, “iya
benar, aku sakit sebagimana rasa sakit dua orang kalian [dua kali lipat]”,
aku berkata, “oleh karena itukah anda mendapatkan pahala dua kali lipat.”
Beliau menjawab, “Benar, karena hal itu”. (HR. Al-Bukhari no.
5648 dan Muslim no. 2571)
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam harus menanggung
sembilan istri. Lho bukannya enak istri banyak?
Silahkan tanya kepada meraka yang mempunyai hanya dua
istri, bagaimana repot dan susahnya mengurus mereka dengan penuh keadilan dan
tanggung jawab.
Bagaimana membagi waktu, membagi perasaan. Terkadang bagi
yang punya satu istri saja terkadang kelabakan mengurus dan mendidik satu
istri terutama ketika “bengkoknya” datang atau sedang sensitif karena
haidh.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ikhlas menjalankan
takdirnya, menikah pertama kali dengan janda sebagai suami ketiga, dan
beberapa istrinya telah bersuami dua kali sebelumnya.
Mampukah kita demikian?,melawan rasa cemburu dengan
suami-suami sebelumnya?
Dan sebagian istri beliau ketika menikah berumur di atas
40 tahun. Mampukah kita demikian, maukah kita menikah dengan wanita berumur
(atau sekarang disebut –maaf- “tante-tante”).
Dan para istri Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
semuanya ridha dengan beliau. Malahan yang ada adalah banyak cerita bahwa
istri-istri beliau yang menyusahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam .
dan belau paling baik terhadap istri-istri beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِي “Sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di
antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi
dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib shahih. Ibnu
Hibban dan Al Albani menilai hadits tersebut shahih).
Dan komentar salah satu istri beliau,
A’isyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ “Akhlak beliau adalah Al-Quran”
[HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan
Ahmad 6/54]
Jika demikian, bolehkah kita meminta ujian, agar derajat kita
naik?
Jawabannya, tidak boleh, karena ketika kita tertimpa
ujian, belum tentu kita mampu menghadapinya. Karena iman kita lemah.
Sebagaimana kita dilarang berharap-harap bertemu musuh, yang bertemu musuh
berupakan ujian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, لا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ، واسألوا الله
الْعَافِيَةَ “Jangan berharap
bertemu musuh, dan memintalah afiah (kesehatan dan keselamatan)
kepada Allah”. (HR.Bukhari no. 7237)
Setelah mengetahui semua ini, janganlah kita langsung
berkeluh kesah ketika mendapatkan ujian yang kecil, langsung putus asa dan
berprasangka negatif kepada Allah.
Mari kita membaca buku-buku dan artikel tentang ujian dan
kesabaran. Jangan harap kita masuk surga tanpa ada ujian.
Allah Ta’ala berfirman,
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن
يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَْ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن
قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji
lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan
sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” [Al-Ankabut:
2-3]
Kemudian sebagai penutup, inilah gambaran cobaan para nabi
dan orang shalih sebelum kita, bantuan baru datang ketika dada-dada mereka
hampir sesak dan sangat lama menanti.
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ
الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم
مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاء وَالضَّرَّاء وَزُلْزِلُواْ حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ
وَالَّذِينَ آمَنُواْ مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللّهِ أَلا إِنَّ نَصْرَ اللّهِ
قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya: “kapankah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS.
Al-Baqarah: 214)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Tulisan ini terinspirasi dari salah satu ustadz
favorit penulis yang telah berpulang:
Ustadz Armen Halim Naro, Lc –rahimahullah-.
Ya Allah Ampunilah beliau, luaskanlah dan terangilah
kuburnya dan masukkanlah beliau ke Surga Firdaus.
Disempurnakan di Lombok, pulau seribu masjid 7 Syawwal
1432 H
Rachmat Machmud
|
Semoga Artikel ini dapat Bermanfaat khususnya Saudara/I
Muslim dan Muslimah.