Akhi, Belajarlah Terlebih Dulu…
Kategori: Manhaj
Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan
amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan
niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila
bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya
Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)
A. Landasan Ucapan dan Amalan
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu
tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati, itu semuanya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS.
al-Israa’: 36).
Imam Bukhari rahimahullah membuat
bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmusebuah
bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman Allahta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain
Allah.” (QS. Muhammad: 19).’
Lalu beliau berkata, “Allah memulai dengan ilmu.”(lihat Fath al-Bari [1/194])
Imam al-’Aini rahimahullah berkata,
“Artinya: Ini adalah bab yang akan menerangkan
bahwasanya ilmu didahulukan sebelum perkataan dan perbuatan. Beliau bermaksud
untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu hendaknya diilmui terlebih dahulu, baru
kemudian diucapkan dan diamalkan. Sehingga ilmu lebih dikedepankan daripada
keduanya secara hakikatnya.
Demikian pula ilmu lebih diutamakan di atas
keduanya dari sisi kemuliaan. Sebab ilmu adalah amalan hati, sementara hati
adalah anggota badan yang paling mulia.” (lihat ‘Umdat al-Qari [2/58])
Ibnul Munayyir rahimahullah berkata,
“Beliau bermaksud untuk menjelaskan bahwa ilmu
merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga keduanya tidaklah
dianggap tanpanya. Maka ilmu itu lebih didahulukan daripada keduanya, sebab
ilmu menjadi faktor yang akan meluruskan niat, sedangkan lurusnya niat itulah
yang menjadi pelurus amalan.
Penulis ingin menggarisbawahi hal itu supaya
tidak muncul anggapan dari perkataan sebagian orang bahwa ‘ilmu tidak ada
gunanya tanpa amalan’ yang menimbulkan sikap meremehkan ilmu dan
bermudah-mudahan dalam mempelajarinya.”(lihat Fath al-Bari [1/195])
Suatu ketika ada seorang lelaki yang menemui
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu.
Lelaki itu berkata, “Wahai Abu Abdirrahman,
amal apakah yang paling utama?”.
Beliau menjawab, “Ilmu”.
Kemudian dia bertanya lagi, “Amal apakah yang paling utama?”.
Beliau menjawab, “Ilmu”.
Lantas lelaki itu berkata, “Aku bertanya kepadamu tentang amal yang paling utama, lantas kamu
menjawab ilmu?!”.
Ibnu Mas’ud pun menimpali perkataannya,
“Aduhai betapa malangnya dirimu, sesungguhnya
ilmu tentang Allah merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun
yang banyak.
Dan kebodohan tentang Allah akan menyebabkan
amal yang sedikit maupun yang banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal
[1/133])
Qatadah berkata:
Sesungguhnya setan tidak pernah membiarkan
lolos seorang pun di antara kalian. Bahkan ia pun datang melalui pintu ilmu.
Setan mengatakan, “Untuk apa kamu terus-menerus menuntut ilmu? Seandainya
kamu mengamalkan semua (ilmu) yang telah kamu dengar, niscaya itu sudah cukup
bagimu.”
Maka Qatadah berkata:
Seandainya ada orang yang boleh merasa cukup
dengan ilmunya, niscaya Musa ‘alaihis salam adalah
orang yang paling layak untuk merasa cukup dengan ilmunya.
Akan tetapi Musa berkata kepada Khidr (yang
artinya),
“Bolehkah aku mengikutimu agar engkau bisa
mengajarkan kepadaku kebenaran yang diajarkan Allah kepadamu.” (QS.
al-Kahfi: 66) (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya
Ibnu Baththal [1/136])
B. Ilmu Sebagai Bekal Dakwah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah -hai Muhammad-: Inilah jalanku, aku mengajak kepada
Allah di atas landasan bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang
mengikutiku.
Maha suci Allah, aku bukan tergolong bersama
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,
“Tidaklah memerintah kepada yang ma’ruf dan
melarang dari yang mungkar kecuali orang yang padanya terdapat tiga ciri ini:
lemah lembut dalam memerintah dan lemah lembut dalam melarang, bersikap adil
dalam memerintah dan adil dalam melarang, serta mengetahui apa yang
diperintahkan dan mengetahui apa yang dilarang.” (lihat
catatan kaki al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar,
hal. 52 ta’liq Syaikh Ruslan)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“.. sesungguhnya perkara yang paling
banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu.
Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan
ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu
tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai
tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…”(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]).
Syaikh Abdurrazzaq al-Badrhafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang
dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)
Allah ta’ala berfirman:
(yang artinya), “Katakanlah: Sesungguhnya Rabbku telah mengharamkan kepadaku
perkara-perkara yang keji, yang tampak maupun yang tersembunyi, begitu pula
dosa, perbuatan melanggar hak, berbuat syirik kepada
Allah padahal tidak ada keterangan yang Allah turunkan untuk membenarkannya,
dan Allah juga mengharamkan kalian berbicara tentang Allah tanpa landasan
ilmu.” (QS. al-A’raaf: 33)
Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata,
“Perkara yang paling penting bagi seorang da’i
adalah memahami apa yang dia dakwahkan secara global maupun terperinci, supaya
dia tidak terjerumus dalam tindakan berfatwa tanpa ilmu.” (lihat
transkrip Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 7)
C. Ilmu Ada Pada Atsar
Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata,
“Suatu cacat yang banyak menimpa putra-putra
umat ini adalah bahwasanya mereka tidak mengikuti prinsip yang telah dijamin
keterjagaannya. Padahal, prinsip itu merupakan jalan kenabian. Keterjagaan sesungguhnya
hanya ada pada wahyu, bukan pemikiran. Keterjagaan itu hanyalah ada pada ajaran
yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 376).
Beliau juga menegaskan,
“Sesungguhnya hakikat dari jalan kenabian itu
adalah dengan mengikuti atsar/riwayat para pendahulu. Barangsiapa yang
menyelisihi jalan ini maka dia tidak berjalan di atas manhaj nubuwwah.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 377)
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul maka sesungguhnya dia telah taat
kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).
Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi perintah
rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau siksaan yang sangat pedih.” (QS.
an-Nuur: 63)
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang taat kepadaku maka dia taat
kepada Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka dia durhaka kepada
Allah. Barangsiapa yang taat kepada amir/pemimpin maka dia taat kepadaku.
Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin maka dia durhaka kepadaku.” (HR.
Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835)
Dari Ubaidullah bin Abi Rafi’, dari ayahnya, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Jangan sampai aku jumpai ada diantara kalian
seseorang yang bersandar di atas pembaringannya sementara telah datang
kepadanya perintah diantara perintah yang aku berikan atau larangan yang aku sampaikan
lantas dia justru berkata, “Kami tidak tahu. Apa yang kami temukan dalam
Kitabullah maka itulah yang kami ikuti!”.”(HR. Abu Dawud no. 4605,
disahihkan Syaikh al-Albani)
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata,
“Semua yang sahih berasal dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa syari’at maupun keterangan maka semua itu
adalah kebenaran.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syaikh al-Albani, hal. 331)
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata,
“Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang
dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ilmu
apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah
ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah,
hal. 390-391)
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
“Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar
dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan,
karena itu adalah bid’ah.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub
Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46).
Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata,
“Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka
untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah
dan diada-adakan.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub
Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 49)
Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata,
“Sudah semestinya setiap orang untuk
mewaspadai berbagai perkara yang diada-adakan. Karena setiap ajaran yang
diada-adakan adalah bid’ah. Sementara Sunnah itu hanya ada pada membenarkan
atsar-atsar dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
meninggalkan sikap penentangan kepadanya dengan pertanyaan ‘bagaimana’ dan
‘mengapa’. Pembicaraan ilmu kalam/filsafat, permusuhan dan perdebatan dalam
urusan agama adalah perkara yang diada-adakan. Hal itu akan menanamkan
keragu-raguan di dalam hati. Sehingga akan menghalangi dari mengenali
kebenaran. Meskipun demikian, ilmu bukan semata-mata diperoleh dengan banyaknya
riwayat. Akan tetapi hakikat ilmu itu adalah dengan ittiba’ dan beramal
dengannya.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah,
hal. 335)
Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya pemisah antara kita dengan ahli bid’ah
adalah dalam masalah akal. Karena sesungguhnya mereka membangun agamanya di
atas pemikiran akal semata, dan mereka menjadikan ittiba’ dan atsar harus
mengikuti hasil pemikiran mereka. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka mengatakan :
pondasi agama adalah ittiba’ sedangkan pemikiran itu mengikutinya. Sebab
seandainya asas agama itu adalah pemikiran niscaya umat manusia tidak perlu
bimbingan wahyu, tidak butuh kepada para nabi. Kalau memang seperti itu niscaya
sia-sialah makna perintah dan larangan. Setiap orang pun akan berbicara dengan
seenaknya. Dan kalau seandainya agama itu memang dibangun di atas hasil
pemikiran niscaya diperbolehkan bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima
ajaran apapun kecuali apabila pemikiran (logika) mereka telah bisa
menerimanya.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 336)
Beliau rahimahullah juga berkata, “Kita tidak menentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan logika. Karena sesungguhnya agama ini diajarkan dengan dasar ketundukan
dan kepasrahan. Bukan dengan mengembalikan segala sesuatu kepada logika. Karena
hakikat logika yang benar adalah yang membuat orang menerima Sunnah. Adapun
logika yang justru membuat orang membatalkan Sunnah, maka sesungguhnya itu
adalah kebodohan dan bukan akal/logika yang benar.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 337)
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya,
demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari
az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh
dengan Sunnah adalah keselamatan.”.”Muhammad bin Nashr meriwayatkan
dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, beliau berkata,“Kamu tidak akan salah jalan selama kamu tetap setia mengikuti
atsar.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah,
hal. 340). ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,“Hendaknya kamu berpegang teguh dengan Sunnah, karena ia -dengan
izin Allah- akan menjaga dirimu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 341)
D. Mengikuti Pemahaman Para Sahabat (Salafus
Shalih)
Dari Mu’awiyah
bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kaum ahli
kitab sebelum kalian berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sungguh agama
ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka,
dan satu di surga; yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud no. 4597,
dihasankan Syaikh al-Albani)
Dari Abdullah
bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bani Isra’il
berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Adapun umatku akan berpecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.”
Mereka pun bertanya, “Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”.
Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikuti aku dan para sahabatku.”(HR.
Tirmidzi no. 2641, dihasankan Syaikh al-Albani)
Dari al-’Irbadh
bin Sariyah radhiyallahu’anhu, beliau menuturkan: Pada
suatu hari tatkala
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sholat mengimami kami, kemudian beliau menghadap kepada
kami. Beliau pun memberikan nasehat kepada kami dengan suatu nasehat yang
meneteskan air mata dan membuat hati merasa takut.
Maka ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah! Seakan-akan
ini adalah nasehat seorang yang hendak berpisah. Apakah yang hendak anda
pesankan kepada kami?”.
Beliau pun bersabda,
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk senantiasa
bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan patuh, meskipun pemimpinmu adalah
seorang budak Habasyi. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sesudahku
niscaya akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu berpegang teguhlah
kalian dengan Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang lurus lagi mendapat
hidayah. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham
kalian! Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap ajaran yang
diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Abu Dawud no. 4607, disahihkan Syaikh al-Albani)
Imam Abu Ja’far
ath-Thahawi rahimahullah berkata,
“Kami mengikuti Sunnah dan Jama’ah, dan kami
menjauhi ajaran-ajaran yang nyleneh, perselisihan, dan perpecahan.”(lihat al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hasyiyah Syaikh Muhammad bin Mani’ dan ta’liqSyaikh Bin Baz, hal. 69 cet. Adhwa’ as-Salaf,
dan al-Minhah al-Ilahiyah, hal. 347).
Imam Ibnu Abil
‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata,
“Sunnah adalah jalan Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah kaum
muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka hingga
hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi mereka
adalah kesesatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab
al-Islami)
E. Tinggalkan Semua Kelompok Menyimpang
Dari Hudzaifah
bin al-Yaman radhiyallahu’anhu,
beliau berkata: Dahulu orang-orang sering bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena aku
khawatir hal itu akan menimpa diriku.
Aku berkata,
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami dahulu
berada dalam masa jahiliyah dan keburukan, lalu Allah pun menganugerahkan
kepada kami kebaikan ini. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?”.
Beliau menjawab, “Iya, ada.”
Aku bertanya lagi, “Apakah sesudah keburukan itu masih ada kebaikan?”.
Beliau menjawab, “Iya, ada. Akan tetapi ada kekeruhan di dalamnya.”
Aku pun bertanya,“Apakah kekeruhan itu?”.
Beliau menjawab, “Yaitu suatu kaum yang mengikuti jalan akan tetapi bukan
jalan/Sunnah yang aku tinggalkan, dan mereka mengikuti petunjuk tetapi bukan
petunjuk dariku. Kamu bisa mengenali mereka dan mengingkarinya.”
Aku bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu masih ada keburukan?”.
Beliau menjawab,“Iya, ada. Yaitu para penyeru kepada pintu Jahannam.
Barangsiapa yang memenuhi seruan itu maka
mereka akan membuatnya terlempar ke dalam neraka.”
Aku berkata,“Wahai Rasulullah! Jelaskan kepada kami ciri-ciri mereka.”
Beliau menjawab, “Ya. Mereka adalah sekelompok kaum dari kulit bangsa kita dan
berbicara dengan bahasa kita.”
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut anda jika aku mengalami hal
itu, apa yang harus aku lakukan?”.
Beliau bersabda, “Hendaknya kamu tetap bergabung dengan jama’ah kaum muslimin dan
pemimpin mereka.”
Aku pun berkata,“Kalau ternyata tidak ada jama’ah/persatuan dan tidak ada lagi
imam/pemimpin?”.
Beliau menjawab, “Maka tinggalkanlah semua kelompok-kelompok yang ada, meskipun
kamu harus menggigit akar pohon sampai kematian menjemputmu dan kamu tetap
berada dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari no. 3606 dan
Muslim no. 1847)
Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata,
“al-Ikhwan al-Muslimun, apakah mereka berada
di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?
Para pengikut Jama’ah Tabligh… Harokah… Takfiri… Pemuja Kubur… Penyebar
Khurafat… dan para pengikut Hizbut Tahrir… Ini semua adalah kelompok-kelompok.
Apakah mereka berada di atas jalan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Sama
sekali tidak. Kecuali apabila bisa bertemu antara timur dan barat. Kecuali
apabila kamu sanggup untuk menyatukan air dengan api dengan tanganmu.
Sungguh, tidak mungkin. Ini adalah mustahil. Sesungguhnya orang-orang yang
berada di atas jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya hanyalah ahlul hadits, yaitu orang-orang yang setia mengikuti
jalan nubuwwah. Mereka berada di atas jalan yang terpuji. Mereka adalah
orang-orang yang berjalan mengikuti atsar. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam hal berpegang teguh dengan
al-Kitab dan as-Sunnah serta menggigit keduanya dengan gigi-gigi geraham, dan
mendahulukan keduanya di atas semua ucapan dan petunjuk. Baik dalam masalah
akidah maupun ibadah, muamalah maupun akhlak,
politik maupun kemasyarakatan.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 388)
Syaikh Muhammad Sa’id Ruslan hafizhahullah berkata,
“Dengan demikian, ilmu adalah
apa yang diajarkan oleh para Sahabat -semoga Allah meridhai mereka- sedangkan
para sahabat tidaklah membuat ajaran-ajaran baru (bid’ah). Karena sesungguhnya
mereka itu semata-mata melakukan ittiba’/mengikuti tuntunan yang ada. Jalan
yang mereka tempuh adalah jalan ittiba’, yang jelas-jelas berseberangan dengan
jalan orang-orang yang suka membuat bid’ah. Jalan yang mereka tempuh amat
sangat terang dalam hal memerangi para penyeru kebid’ahan. Sebab mereka
sendirilah yang menukilkan kepada kita dalil-dalil dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk
menjauhi ahlul bid’ah, memusuhi pemujanya, dan supaya berpegang teguh dengan Sunnah dan
mencintai para pengikutnya.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 393)
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi dan Artikel Muslim.Or.Id
Published by: Selada Raya, Rachmat Machmud Flimban