Print Friendly and PDF Soal Jawab, Antara Syariat, Adat dan Tabiat | PERUMNAS I Selada Raya
Home » » Soal Jawab, Antara Syariat, Adat dan Tabiat

Soal Jawab, Antara Syariat, Adat dan Tabiat

Written By Rachmat.M.Flimban on 27 Desember 2012 | 04.00

Print Friendly and PDFPrint Friendly

 Yang Dilakukan Rasul: Antara Syariat, Adat dan Tabiat


السؤال : السنة والاستحسان هل يمكن التمييز بين سنة النبي صلى الله عليه وسلم وبين ما أحبه وكرهه حيث أنه كان إنسان في المقام الأول، أم أنهما نفس الشيء والدرجة فإن كان هناك فارقا بينهما فكيف يكون التمييز بينهما؟
Pertanyaan: “Sunnah dan Istihsan, apakah mungkin membedakan antara Sunnah Nabi dengan apa yang beliau sukai dan benci, dimana beliau adalah seorang insan yang berada di derajat pertama, atau apakah keduanya itu sama saja dan sederajat. Jika ada pembeda antara keduanya, maka bagaimana membedakan keduanya?”
الجواب :
الحمد لله
الأصل في أقواله صلى الله عليه وسلم أنها للتشريع ، لأنه مبلغ عن ربه ، مرسل لهداية الخلق ، مأمور بالبيان ، كما قال تعالى : (وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ) النحل/44 ، وقال : (يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ) المائدة/67 .
Jawaban:
Segala puji bagi Allah
Dasarnya perkataan-perkataan beliau Shallallahu alaihi wa Sallam adalah untuk legislasi [mensyariatkan], karena beliau adalah penyampai dari Rabb-nya Azza wa Jalla, diutus untuk menunjuki makhluk, diperintahkan untuk menjelaskan, sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” [Q.S. An-Nahl: 44]
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” [Q.S. Al-Maidah: 67]
ويدل على أن الأصل في أقواله صلى الله عليه وسلم أنها للتشريع : ما روى أبو داود (3646) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما قَالَ كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ ، وَقَالُوا : أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا؟ فَأَمْسَكْتُ عَنْ الْكِتَابِ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ فَقَالَ : (اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ) .
Dalil bahwasanya perkataan-perkataan beliau adalah untuk mensyariatkan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud [3646] dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhuma berkata: “Aku menulis segala sesuatu yang ku dengar dari Rasulullah Shallallah alaihi wa Sallam yang kuinginkan untuk menghafalnya. Maka kaum Quraisy pun melarangku [untuk berbuat itu]. Mereka berkata: “Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengan darinya dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam adalah manusia yang bisa berbicara di kala marah dan ridha?” Maka aku pun berhenti menulis. Lalu aku ceritakan itu ke Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam. Beliau pun memberi isyarat dengan jemarinya menuju mulutnya seraya berkata: “Tulislah! Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar darinya [yakni: dari mulut beliau] kecuali kebenaran!”
وقد يقول صلى الله عليه وسلم القول لا يريد به التشريع ، وهذا خلاف الأصل ، ولابد من دليل يبين أنه لغير التشريع ، كما في قصة تأبير النخلة المشهورة ، وقد رواها مسلم (2361) عن طَلْحَةَ قَالَ : مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ ، فَقَالَ : مَا يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ ؟ فَقَالُوا : يُلَقِّحُونَهُ ، يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِي الْأُنْثَى فَيَلْقَحُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (مَا أَظُنُّ يُغْنِي ذَلِكَ شَيْئًا) قَالَ : فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ ، فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ ، فَقَالَ : إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ ، فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا ، فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ ، وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ) .
Dan terkadang beliau -shallallahu alaihi wa sallam- mengucapkan sebuah perkataan sementara beliau sendiri tidak memaksudkan untuk mensyariatkan. Ini berbeda dengan asalnya [yaitu bahwa perkataan beliau adalah untuk mensyariatkan]. Dan ini memerlukan dalil untuk menunjukkan bahwasanya perkataan tersebut tidak untuk mensyariatkan. Sebagaimana di kisah penyerbukan pohon palem yang terkenal.
Telah diriwayatkan oleh Muslim [2361] dari Thalhah berkata: “Aku bersama Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- pernah berjalan melewati orang-orang yang sedang berada di pucuk pohon kurma. Tak lama kemudian beliau bertanya: “Apa yang dilakukan orang-orang itu?” Para sahabat menjawab; ‘Mereka sedang mengawinkan pohon kurma dengan meletakkan benang sari pada putik agar lekas berbuah.’ Maka Rasulullah pun bersabda: “Aku kira perbuatan mereka itu tidak ada gunanya.” Thalhah berkata; ‘Kemudian mereka diberitahukan tentang sabda Rasulullah itu. Lalu mereka tidak mengawinkan pohon kurma.’ Selang beberapa hari kemudian, Rasulullah diberitahu bahwa pohon kurma yang dahulu tidak dikawinkan itu tidak berbuah lagi. Lalu Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam’ bersabda: “Jika okulasi (perkawinan) pohon kurma itu berguna bagi mereka, maka hendaklah mereka terus melanjutkannya. Sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi. Oleh karena itu, janganlah menyalahkanku karena adanya pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya. Karena, aku tidak pernah mendustakan Allah.”
ورواه مسلم (2363) عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ : (لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ) قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ : مَا لِنَخْلِكُمْ ، قَالُوا : قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ : (أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ) .
Dan diriwayatkan oleh Muslim [2363] dari Anas -radhiyallahu anh- bahwasanya Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- berjalan melewati kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma itu akan (tetap) baik.” Namun setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: “Ada apa dengan pohon kurma kalian?” Mereka menjawab: ‘Bukankah engkau telah mengatakan hal ini dan hal itu?’ Beliau lalu bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
والشيص : البسر الرديء ، الذي إذا يبس صار حشفا .
فقد أخبر صلى الله عليه وسلم أنه قال ذلك ظنا ، فخرج بهذا عن أن يكون تشريعا .
Asy-Syiish adalah kurma yang kurang bagus dan jika kering akan melusuh dan terlihat usang. Nabi telah mengabarkan bahwasanya beliau mengucapkannya berdasarkan dzann [dugaan], maka ini bukan termasuk dari tasyrii’.
وأما أفعاله صلى الله عليه وسلم فقد تصدر منه على وجه التشريع ، وقد تكون من أفعال الجبلة والعادة التي هي مقتضى البشرية ، كالأكل والشرب والقيام والقعود ، وقد يكون الفعل خاصا به صلى الله عليه وسلم .
Dan adapun perbuatan-perbuatan beliau -shallallahu alaihi wa sallam- maka kadang termasuk di dalam bab tasyrii’ dan terkadang pula berupa perbuatan-perbuatan yang bersifat tabiat atau adat manusiawi, seperti makan, minum, berdiri dan duduk. Dan terkadang pula perbuatan tersebut khusus bagi beliau saja.
” فهذه ثلاثة أقسام :
القسم الأول : الأفعال الجبلية : كالقيام، والقعود، والأكل، والشرب، فهذا القسم مباح؛ لأن ذلك لم يقصد به التشريع ولم نتعبد به، ولذلك نسب إلى الجبلّة وهي الخلقة. لكن لو تأسى به متأسٍ فلا بأس ، وإن تركه لا رغبة عنه ولا استكبارًا فلا بأس.
“Maka hal ini terbagi menjadi 3 macam:
Pertama: Perbuatan-perbuatan yang bersifat tabiat, seperti berdiri, duduk, makan dan minum. Maka ini semua mubah; karena tidak termaksud dengannya tasyrii’ dan kita tidak beribadah dengannya. Karena itulah perbuatan-perbuatan ini dinisbatkan pada jibillah [tabiat atau watak]. Namun jika seseorang mengikuti beliau dengan melakukan hal serupa, maka tidak apa-apa. Dan jika ia meninggalkan perbuatan tersebut karena tidak ada keinginan dan tidak karena sombong, maka tidak apa-apa.
القسم الثاني: الأفعال الخاصة به – صلى الله عليه وسلم – التي ثبت بالدليل اختصاصه بها كالجمع بين تسع نسوة، فهذا القسم يحرم فيه التأسي به.
Kedua: Perbuatan-perbuatan yang khusus bagi beliau -shallallahu alaihi wa sallam- yang tertetapkan dengan adanya pengkhususan dalam dalil. Seperti menikahi 9 wanita. Maka bagian ini dilarang bagi manusia untuk mengikutinya.
القسم الثالث: الأفعال البيانية التي يقصد بها البيان والتشريع، كأفعال الصلاة والحج، فحكم هذا القسم تابع لما بيّنه؛ فإن كان المبين واجبًا كان الفعل المبين له واجبًا، وإن كان مندوبًا فمندوب “.
Ketiga: Perbuatan-perbuatan yang bersifat demonstratif [bayaani] dan dimaksudkan dengannya untuk menjelaskan dan mensyariatkan. Seperti gerakan-gerakan shalat dan haji. Maka hukum untuk bagian ketiga ini mengikuti hukum asal perbuatan tersebut. Jika hukum perbuatan yang didemonstrasikan itu wajib, maka hukumnya adalah wajib. Dan jika ia manduub, maka hukumnya adalah manduub.”
” وهناك قسم رابع وهو المحتمل للجبلي والتشريعي. وضابط هذا القسم: أن تقتضيه الجبلة البشرية بطبيعتها، لكنه وقع متعلقًا بعبادة بأن وقع فيها أو في وسيلتها، كالركوب إلى الحج ودخول مكة من كَداء، فهذا قد اختلفوا فيه: هل هو مباح أو مندوب “.
Dan ada pula bagian keempat yang ia masih memiliki posibilitas untuk dikategorikan sebagai jibilly [tabiat] atau legislasi [pensyariatan]. Standarisasi bagian ini: Bahwa perbuatan tersebut berupa tabiat manusiawi secara murni, namun terjadi berkaitan dengan suatu ibadah, entah itu terjadi secara langsung di dalam ibadah tersebut atau berupa wasilah [perantara], seperti ‘mengendarai’ [hewan] menuju haji dan memasuki Makkah dari Kada’. Maka terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai hal ini: Apakah ia mubah atau manduub?
ومن أمثلة التأسي به في الأفعال الجبلية : ما ” ورد أن ابن عمر رضي الله عنهما كان يلبس النعال السبتية، ويصبغ بالصفرة، فسئل عن ذلك فقال: “… وأما النعال السبتية فإني رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يلبس النعال التي ليس فيها شعر ويتوضأ فيها فأنا أحب أن ألبسها، وأما الصفرة فإني رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصبغ بها فأنا أحب أن أصبغ بها….”. رواه البخاري (1/267) برقم (166).
Dan di antara contoh ber-ittiba dengan Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- dalam perbuatan yang bersifat jibilly: Apa yang tersirat bahwasanya Ibnu Umar -radhiyallahu anhuma- mengenakan sandal As-Sabaty, dan menyemir rambut dengan warna kuning. Maka ia pun ditanya mengenai hal tersebut, dan berkata: “Adapun Sendal As-Sabaty, sesungguhnya aku melihat Rasulullah -shallallahu alaihi wa Sallam- mengenakan sendal yang tidak terdapat rambut padanya dan berwudhu dengannya. Maka aku pun ingin mengenakannya. Adapun semiran kuning, maka sesungguhnya aku melihat Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- menyemir rambutnya dengan warna tersebut. Maka aku pun ingin [juga] menyemir dengan warna yang sama…” [H.R. Bukhary 1/267 dengan nomor 166]
وورد عن الإمام الشافعي أنه قال لبعض أصحابه: اسقني، فشرب قائمًا، فإنه – صلى الله عليه وسلم – شرب قائمًا.
Dan tersirat tentang Imam Syafi’i bahwasanya beliau berkata untuk sebagian sahabatnya: Berilah aku minum, maka ia pun minum berdiri. Karena sesungguhnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- minum berdiri.
وورد أيضًا عن الإمام أحمد أنه قال : ما بلغني حديث إلا عملت به حتى أعطى الحجام دينارًا ” انتهى من “معالم أصول الفقه عند أهل السنة والجماعة” للدكتور محمد حسين الجيزاني ، ص 128 .
Tersirat juga tentang Imam Ahmad bahwasanya beliau berkata: ‘Tidaklah sampai kepadaku sebuah hadits melainkan aku akan mengamalkannya hingga aku pun memberi tukang bekam dinar.’ [Selesai kutipan dari kitab 'Ma'aalim Ushul Al-Fiqh inda Ahlissunnah wal jama'ah karya Doktor Muhammad Husain Al-Jiizaany, halaman 127]
ومن أمثلة القسم الرابع : وهو ما احتمل أن يكون للتشريع أو للجبلة : نزول صلى الله عليه وسلم المحصّب بعد الحج (وهو اسم موضع بين مكة ومنى وإلى منى أقرب، ويسمى الأبطح)، فاختلف الصحابة في هذا النزول : هل هو تشريع أو ليس كذلك ، فكان عبدالله بن عمر رضي الله عنهما يراه سنة، وكان عبدالله بن عباس رضي الله عنهما يقول: ” ليس التحصيب (أي: نزول المحصب) بشيء، إنما هو منزل نزله رسول الله – صلى الله عليه وسلم -” ، وكانت عائشة رضي الله عنها توافق ابن عباس فتقول: ” نزول الأبطح ليس بسنة” “.
وينظر : صحيح البخاري (1765) ، (1766) ، صحيح مسلم (1310).

Dan dari contoh-contoh bagian keempat: Turunnya Nabi ke Al-Muhasshab setelah Haji [itu adalah sebuah tempat antara Makkah dan Mina. Lebih dekat ke Mina dan dinamakan Al-Abtah]. Maka para sahabat pun berbeda pendapat mengenai turunnya Nabi ini: apakah itu merupakan syariat atau bukan. Maka Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma- pun melihatnya sebagai Sunnah [syariat]. Dan Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu-: “Itu bukanlah perkara apa-apa [bukanlah sebuah syariat. Itu hanyalah tempat turunnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-." Aisyah -radhiyallahu anha- pun setuju dengan pendapat Ibnu Abbas seraya berkata: 'Turunnya beliau di Al-Abthah bukanlah sunnah."
Bisa dilihat di: Sahih Al-Bukhary [1765] [1766] dan Sahih Muslim [1310]
وبهذا يتبين أن ما أحبّه صلى الله عليه وسلم من الأطعمة أو الأشربة أو الألبسة ونحو ذلك ، الأصل فيه أنه من العادات التي تفعل بمقتضى البشرية ، ولا يراد بها التشريع ، ككونه يحب الدباء ، ويعاف الضب ، ويلبس العمامة والرداء والإزار والقميص ، ما لم يدل دليل على التشريع ، كأن يأمر أو يرغّب في بأمر يتعلق بهذه الأشياء ، كالتسمية عند الأكل ، وعدم التنفس في الإناء ، والأكل باليمين ، وعدم الأكل من وسط القصعة ، ومنع الإسبال أسفل من الكعبين ، فالتشريع في ذلك واضح ، ويكون لهذه الأفعال حكمها من الإيجاب أو الندب أو التحريم أو الكراهة ، بحسب الأدلة الواردة فيها .
Dan dengan ini terjelaskanlah bahwasanya apa yang Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- sukai dari makanan, minuman dan pakaian dasarnya adalah adat yang bersifat manusiawi, dan tidak dimaksudkan dengannya pensyariatan. Seperti sukanya beliau akan labu, juga hewan bernama Dhob, mengenakan imamah, ridaa’, sarung dan gamis, selama tidak adanya dalil akan pensyariatan, seperti ketika ia memerintahkan atau menganjurkan perkara yang berkaitan dengan hal-hal seperti: Mengucapkan basmalah ketika makan, tidak bernafas ketika minum, memakan dengan tangan kanan, tidak memakan dari tengah nampan, melarang menjulurkan kain di bawah mata kaki, maka pensyariatan di hal-hal seperti ini jelas, dan hukumnya berupa wajib atau mandub atau haram atau makruh, sesuai dengan dalil-dalil yang tertera mengenainya.
Wallahu a’lam
Diterjemahkan dari www.islam-qa.com, pertanyaan 149523
Sumber Artikel : Islam-Downloan

Published by: Selada Raya, Rachmat Machmud Flimban
TEMUKAN KAMI DI FACEBOOK KUMPULAN PANDUAN ISLAM




Masukan Alamat Email Anda:
Dengan Demikian Anda akan Menerima Email Setiap ada Artikel/Posting Terbaru Dari Perumnas I Jl.Selada Raya Kota Tangerang.


Delivered by FeedBurner
Print Friendly and PDFPrint Friendly
Share this article :


 
Support : Tuntunan Islam | Central Selada Raya | Al Islam
Copyright © 2013. PERUMNAS I Selada Raya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger