NABI MAUPUN WALI ADALAH MANUSIA BIASA, TIDAK BERHAK
DISEMBAH!
Kategori Bahasan : Tauhid
Oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari
Muhammad adalah 'abduhu wa rasuluhu. Pensifatan dari Allah
bagi Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan sebutan yang
paling bagus. 'Abduhu (yang hambaNya) selain menunjukkan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagai hamba yang benar-benar tunduk, juga mengandung makna,
beliau adalah manusia biasa seperti kita sebagai makhluk yang tidak boleh
disembah. Adapun rasuluhu (utusanNya) menunjukkan, beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah manusia yang memiliki keistimewaan, sehingga beliau tidak
boleh disepelekan.
Islam mengajarkan bahwa ketaatan yang dilakukan manusia,
maka kebaikannya untuk dirinya sendiri. Manusia hanya memiliki apa yang
diamalkannya sewaktu di dunia. Allah Ta’ala berfirman :
"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka
(dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabbmu menganiaya
hamba-hamba(Nya)". [Fushilat/41:46].
Oleh karena itulah barangsiapa yang berbuat kebaikan,
walaupun seberat debu, maka dia akan melihat balasannya. Allah Ta’ala
berfirman:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah
(debu)pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (debu)pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya". [al Zalzalah/99 : 7-8]
Demikian juga pada hari kiamat, harta benda dan anak-anak
tidak akan bermanfaat, kecuali bagi orang yang ketika hidupnya menggunakan
hartanya untuk mentaati Allah dan membimbing anak-anaknya berbakti kepada Allah
Azza wa Jalla.
"Pada hari (kiamat) harta dan anak-anak laki-laki tidak
berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih". [asy Syua'ara/26: 88-89]
Setelah kita mengetahui hakikat ini, bahwa setiap orang akan
bertanggung jawab masing-masing di hadapan Allah Ta’ala, maka janganlah
seseorang bergantung kepada manusia yang lain. Karena sesungguhnya seluruh
manusia itu tidak akan dapat memberikan manfaat dan madhorot, kecuali sekadar
apa yang telah Allah tetapkan. Begitu pula dengan para rasul, manusia yang
paling tinggi derajatnya di sisi Allah Yang Maha Kuasa, mereka tidak dapat
berbuat apapun terhadap kekuasaan Allah Ta’ala.
Berikut sebagian contoh kejadian para rasul yang membuktikan
hal tersebut.
Nabi Nuh Alaihissallam
Beliau tidak dapat menolong anaknya yang diterjang banjir
besar di hadapan beliau sendiri. Kemudian beliau mengadu kepada Allah tentang
kejadian tersebut, namun ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan oleh keinginan
beliau. Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Rabb-nya sambil berkata:
"Ya Rabb-ku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya
janjiMu itu benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya". Allah
berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang
dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak
baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak
mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnaya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu
jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan". Nuh berkata:
"Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon sesuatu
yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi
ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan
termasuk orang-orang yang merugi". [Huud/11:45-47]
Nabi Ibrohim Alaihissallam
Permohonan ampun untuk bapaknya ditolak, karena bapaknya
mati dalam kekafiran. Allah berfirman:
"Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya
kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah
musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim
adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun". [at
Taubat/9:114].
Nabi Luth Alaihissallam
Beliau tidak dapat menolak siksa Allah dari isterinya.
Sehingga Allah menjadikan isteri beliau sebagai contoh bagi orang-orang kafir.
Allah berfirman:
"Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan
bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada
kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun
dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke neraka
bersama orang-orang yang masuk (neraka)". [at Tahriim/66:10].
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Sebagaimana para nabi lainnya, Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah manusia biasa. Beliau seorang hamba Allah. Beliau
tidak memiliki hak rububiyah (berkuasa terhadap alam semesta) maupun hak
uluhiyah (diibadahi, disembah) sedikitpun. Akan tetapi pada zaman ini banyak
orang yang melewati batas dalam memperlakukan diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Mereka beranggapan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bisa
memberikan pertolongan jika umat berdoa kepadanya. Anggapan ini merupakan
perbuatan yang menyimpang.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah
mengumumkan, bahwa beliau sama sekali tidak dapat mendatangkan manfa'at dan
tidak pula dapat menolak kemudharatan bagi diri sendiri, kecuali yang
dikehendaki Allah. Maka bagaimana bagi orang lain? Allah berfirman:
"Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik
kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang
dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku
membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.
Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman". [al A'raaf/7:188].
Demikian pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
mengumumkan kepada para kerabatnya, bahwa beliau tidak mampu menolak siksa
Allah yang menimpa mereka, maka bagaimana terhadap orang yang jauh dari beliau?
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَنْزَلَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ }وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِين{َ قَالَ يَا مَعْشَرَ
قُرَيْشٍ أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ
اللَّهِ شَيْئًا يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا
يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا
صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا وَيَا
فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنْ
اللَّهِ شَيْئًا
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
“Ketika turun firman Allah {Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
yang terdekat} –QS asy Syua'raa/26 ayat 214- Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berdiri dan berkata,'Wahai orang-orang Quraisy –atau kalimat semacamnya-
belilah diri-diri kamu, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap
kamu sedikitpun. Wahai Bani Abdu Manaf, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari
Allah terhadap kamu sedikitpun. Wahai ‘Abbas bin Abdul Muththolib, aku tidak
dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadap-mu sedikitpun. Wahai Shafiyyah bibi
Rasulullah, aku tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun.
Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah dari hartaku yang engkau kehendaki, aku
tidak dapat menolak (siksaan) dari Allah terhadapmu sedikitpun'.” [HR Bukhari,
no. 2753; Muslim, no. 206; dan lainnya]
Selain penjelasan di atas, kita dapat mengambil pelajaran
dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sehingga hilanglah berbagai syubhat (kesamaran) pada orang-orang yang
menjadikan beliau sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla. Berikut kami
sebutkan di antara peristiwa-peristiwa tersebut.
PELAJARAN DARI KEMATIAN ABU THALIB
Dalam peristiwa kematian pamannya tersebut, Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak mampu memberikan petunjuk kepada Abu Thalib, walaupun
beliau menginginkan hal itu. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah
ini:
عَنْ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ
بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ
لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ
أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدَانِهِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ
حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
فَأَنْزَلَ اللَّهُ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْمُشْرِكِينَ وَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
"Dari Sa’id bin Musayyab, dari bapaknya (Musayyab bin
Hazn), dia berkata: Tatkala (tanda) kematian datang kepada Abu Thalib,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya. Beliau mendapati Abu
Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah berada di dekatnya. Lalu beliau
berkata: "Wahai pamanku, katakanlah Laa ilaaha illa Allah, sebuah kalimat
yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah!" Abu Jahal dan
Abdullah bin Abi Umayyah menimpali,"Apakah engkau akan meninggalkan agama
Abdul Muththalib?" Rasulullah n terus-menerus menawarkan itu kepadanya,
dan keduanya juga mengulangi perkataan tersebut. Sehingga akhir perkataan yang
diucapkan Abi Thalib kepada mereka, bahwa dia berada di atas agama Abdul
Muththalib. Dia enggan mengatakan Laa ilaaha illa Allah. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata,"Demi Allah, aku akan memohonkan ampun untukmu
selama aku tidak dilarang darimu," maka Allah menurunkan (ayatNya)
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” –QS at Taubat/9 ayat 113- Dan Allah
menurunkan (ayatNya) tentang Abu Thalib “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendakiNya”. –QS al Qashash/28 ayat 56". [Hadits
shahih riwayat Bukhari, no. 4772; Muslim, no. 24]
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, waktu itu Abu Thalib
menjawab dengan perkataan:
لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ يَقُولُونَ
إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ
"Seandainya suku Quraisy tidak akan mencelaku, yaitu
mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya yang mendorongnya (Abu Thalib) mengatakan
itu hanyalah kegelisahan (menghadapi kematian),” sungguh aku telah
menyenangkanmu dengan kalimat itu". [Hadits shahih riwayat Muslim, no.
25].
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Dan di
antara hikmah ar Rabb (Sang Penguasa, Allah) Ta’ala tidak memberi petunjuk
kepada Abu Thalib menuju agama Islam, agar Dia menjelaskan kepada
hamba-hambaNya bahwa (petunjuk menuju Isalm) itu hanya hak Allah, Dia-lah Yang
Berkuasa, siapa saja selainNya tidak berkuasa. Jika Nabi n -yang merupakan
makhlukNya yang paling utama- memiliki sesuatu (hak, kekuasaan) memberi hidayah
hati, menghilangkan kesusahan-kesusahan, mengampuni dosa-dosa, menyelamatkan
dari siksa, dan semacamnya, maka manusia yang paling berhak dan paling utama
mendapatkannya adalah pamannya, yang dahulu melindunginya, menolongnya, dan
membelanya. Maka Maha Suci (Allah) yang hikmahNya mengagumkan akal-akal
(manusia), dan telah membimbing hamba-hambaNya menuju apa yang menunjukkan
kepada mereka terhadap ma’rifah (pengenalan) dan tauhid (pengesaan) kepadaNya,
dan mengikhlasakan serta memurnikan seluruh amal hanya untukNya”.[1]
PELAJARAN DARI QUNUT NAZILAH
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ
مِنْ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ الْفَجْرِ يَقُولُ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا
وَفُلَانًا بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ
ظَالِمُونَ
"Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwa dia mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika setelah mengangkat kepalanya
dari ruku’ dari raka’at yang akhir dari shalat Subuh, beliau mengucapkan:
“Wahai Allah laknatlah Si Fulan, Si Fulan, dan Si Fulan,” setelah beliau
mengatakan “Sami’allahu liman hamidah Rabbanaa walakal hamdu," kemudian
Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan
mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. -QS Ali Imran/3:128." [HR
Bukhari, no. 4069]
Dalam riwayat lain disebutkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْعُو عَلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ وَسُهَيْلِ بْنِ عَمْرٍو وَالْحَارِثِ
بْنِ هِشَامٍ فَنَزَلَتْ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ
ظَالِمُونَ
Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan
kecelakaan kepada Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan al Harits bin
Hisyam, lalu turun (ayat): “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan
mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim. –QS Ali Imran/3:128.” [HR
Bukhari, no. 4070].
Syaikh Shalih al Fauzan berkata: “Dalam hadits tersebut
terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mampu menolak
gangguan musyrikin dari diri beliau dan dari para sahabat beliau, bahkan beliau
berlindung kepada Rabb-nya, al Qadir (Yang Maha Kuasa), al Malik (Yang
Memiliki). Ini termasuk perkara yang menunjukkan kebatilan terhadap apa yang
diyakini oleh penyembah kubur tentang para wali dan orang-orang shalih (yang
dianggap mampu memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan, Pen)”.[2]
PELAJARAN DARI PERANG UHUD
Tentang sifat manusia sebagai makhluk yang terdapat pada
diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ditunjukkan oleh musibah yang
dialami dalam kehidupan beliau, seperti di dalam peperangan Uhud. Imam Muslim
meriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ
فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ
وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ
"Dari Anas: "Sesungguhnya pada peperangan Uhud,
gigi geraham Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau
terluka, maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan:
'Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi
mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka
menuju (peribadahan kepada) Allah?' Maka Allah menurunkan (ayatNya): “Tidak ada
sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu". -QS Ali Imran/3 ayat
128. [Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1791].
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Terjadinya sakit dan
ujian kepada para nabi –semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada
mereka- adalah agar mereka mendapatkan pahala yang besar, dan agar umat mereka
mengetahui apa yang telah menimpa mereka dan umat itu meneladani mereka”.
Al Qadhi rahimahulllah berkata: “Dan agar diketahui,
sesungguhnya mereka (para nabi itu) termasuk manusia, ujian-ujian dunia juga
menimpa mereka, dan apa yang mengenai tubuh-tubuh manusia juga mengenai tubuh
mereka; agar diyakini, mereka adalah makhluk, yang dikuasai (oleh Allah). Dan
agar umat tidak tersesat dengan mu’jizat-mu’jizat yang muncul lewat tangan
mereka, dan setan mengaburkan dari perkara para nabi sebagaimana yang telah dia
kaburkan terhadap orang-orang Nashrani dan lainnya”. [3]
Dengan keterangan yang ringkas ini, semoga jelas bagi kita
tentang kedudukan Nabi yang mulia. Sehingga kita menempatkan beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana layaknya. Alhamdulillah. Dan setelah mengetahui
ini semua, lalu bagaimanakah dengan keadaan orang-orang pada masa sekarang ini,
yang memohon dan meminta pertolongan kepada para nabi atau wali atau orang
shalih atau kubur mereka? Sungguh tidak tidak diragukan lagi, perbuatan itu
hanyalah sia-sia, dan bahkan termasuk perbuatan musyrik.
Semoga Allah selalu menjaga kita dari perbuatan musyrik, dan
segala perkara yang mengantarkan kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengabulkan doa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun
X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Fathul Majid, Penerbit Dar Ibni Hazm, hlm. 191-192.
[2]. Al Mulakhas fii Syarh Kitab at Tauhid, hlm. 108.
[3]. Dinukil dari Fathul Majid, Penerbit Dar Ibni Hazm, hlm.
166-167.
Sumber artikel : http://almanhaj.or.id
Published by: Selada Raya, Rachmat Machmud Flimban
