Ketika Perintah Pemimpin Bertentangan Dengan Dalil
Kategori: Hadits
Sebuah kisah dimasa masa
kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu’anhu yang
ditulis oleh An Nasa-i (2/233), Al Hakim (2/36), Ahmad (4/226),
عن ابن جريج قال: ولقد أخبرني عكرمة بن خالد أن
أسيد بن حضير الأنصاري – ثم أحد بني حارثة – أخبره: ” أنه كان عاملا على
اليمامة، وأن مروان كتب إليه أن معاوية كتب إليه أن أيما رجل سرق منه فهو احق
بها حيث وجدها، ثم كتب بذلك مروان إلي وكتبت إلى مروان أن النبي صلى الله
عليه وسلم قضى بأنه إذا كان الذي ابتاعها (يعني السرقة) من الذي سرقها غير متهم
يخير سيدها، فإن شاء أخذ الذي سرق منه بثمنها وإن شاء اتبع سارقه ثم قضى بذلك أبو بكر وعمر وعثمان. فبعث مروان بكتابي إلى معاوية وكتب
معاوية إلى مروان: إنك لست أنت ولا أسيد تقضيان
علي، ولكني أقضي فيما وليت عليكما، فانفذ لما أمرتك به، فبعث مروان بكتاب
معاوية، فقلت: لا أقضي به ما وليت بما قال معاوية
Dari Ibnu Juraij, ia
berkata, Ikrimah bin Khalid mengabarkan kepadaku, bahwa Usaid
bin Hudhair Al Anshari (tsumma Al Haritsah) mengabarkan kepadaku :
Ketika Usaid menjadi gubernur di
Yamamah, Marwan menulis surat kepada Usaid yang isinya menceritakan bahwa
Mu’awiyah menulis surat kepada Marwan, yang isinya: “siapa saja yang telah
dicuri barangnya, ketika ditemukan, maka dialah yang paling berhak atas barang
tersebut”, lalu Marwan menyampaikan isi surat itu padaku (Usaid).
Lalu aku menulis surat kepada Marwan
bahwa Nabi Shallallahu’alahi Wasallam telah memutuskan bahwa barang
curian sudah dibeli orang lain dari orang yang mencurinya, sedangkan orang yang
membeli ini tidak ada indikasi keburukan (misalnya sebagai penadah, pent.),
maka pemilik asli barang tersebut hendaknya memilih dari dua pilihan: ia bisa
mengambil barang tersebut dengan memberi ganti harganya, atau ia menelusuri
siapa pencurinya. Abu Bakar, Umar dan Utsman juga telah menetapkan
demikian.
Lalu Marwan menyampaikan suratku itu
kepada Mu’awiyah. Kemudian Mu’awiyah membalas surat Marwan: “Bukan anda atau
Usaid yang memutuskan hukum terhadapku, namun akulah yang berhak memutuskan
perkara untuk kalian berdua patuhi. Maka jalankanlah apa yang telah aku
putuskan”. Lalu Marwan menyampaikan surat Mu’awiyah tersebut kepadaku, dan aku
katakan: “Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut”
Derajat Hadits
Imam Al Hakim mengatakan: “hadits
ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim”. Namun Adz Dzahabi menemukan
illah dalam hadits ini, beliau berkata: “Usaid bin Hudhair ini wafat di masa
Umar, ia tidak bertemu Ikrimah dan tidak hidup di zaman Mu’awiyah, sehingga ini
perlu ditelaah”.
Namun Al Hafidz Al Mizzi mengatakan:
“Ini adalah sebuah wahm. Harun berkata, bahwa Imam Ahmad berkata,
yang tertulis di catatan Ibnu Juraij adalah Usaid bin Zhuhair (أسيد بن ظهير)”, namun demikianlah (Usaid bin Hudhair)
yang dikatakan oleh para ulama Bashrah. Abdur Razaq dan selainnya meriwayatkan
dari Ibnu Juraij dari Ikrimah dari Usaid bin Zhuhair, inilah yang benar”.
Diantaranya yang diriwayatkan Abdurrazaq
Ash Shan’ani dalam Al Mushannaf (18829) :
لَقَدْ أَخْبَرَنِي عِكْرِمَةُ بْنُ
خَالِدٍ , أَنَّ أُسَيْدَ بْنَ ظُهَيْرٍ الْأَنْصَارِيَّ , أَخْبَرَهُ أَنَّهُ
كَانَ عَامِلًا عَلَى الْيَمَامَةِ
…
“Ikrimah bin Khalid telah
mengabarkan kepada kami, bahwa Usaid bin Zhuhair Al Anshari telah
mengabarkannya, bahwa ketika ia menjadi gubernur di Yamamah… ”
Lalu Syaikh Al Albani menyimpulkan,
“jika demikian, maka Usaid bin Zhuhair itu adalah seorang sahabat Nabi yang
ketika perang Uhud terjadi usianya masih kecil. Selain Ikrimah, anaknya
Ikrimah, Rafi’, dan juga Mujahid meriwayatkan darinya. Sehingga hadits ini
shahih dan hilanglah wahm yang ada” (diringkas dari Silsilah
Ahadits Shahihah, 2/164-165)
Faidah Hadits
1.
Berdasarkan
hadits ini, barang curian yang dicuri jika sudah berpindah tangan dari
pencurinya kepada orang lain dengan jual beli yang sah, lalu pemilik aslinya
menemukan barang tersebut, maka si pemilik asli dapat memilih antara dua opsi:
- Membeli kembali barang tersebut dari pemilik sekarang
- Melaporkan kepada yang berwajib untuk menelusuri pencurinya
- Ketentuan tadi berlaku dengan syarat, si pembeli itu ghayru muttaham. Maksudnya si pembeli tidak terindikasi bahwa dia membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah. Misalnya, si pembeli sudah tahu bahwa barang tersebut curian namun tetap membelinya, atau sebagai penadah barang curian.Jika pembeli tersebut membeli dari si pencuri dalam keadaan tidak tahu bahwa ia pencuri dan tidak tahu bahwa barangnya merupakan barang curian, maka pembeli tersebut ghayru muttaham.Jika pembeli tersebut muttaham, atau terindikasi membeli barang curian tersebut dengan akad jual-beli yang tidak sah, maka si pemilik berhak mengambil barang miliknya tanpa harus membelinya lagi, sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’awiyah radhiallahu’anhu. Jelasnya silakan simak penjelas Syaikh Ali Farkus hafizhahullah di sini.
- Jika sesuai ketentuan, maka pemilik asli tidak bisa menuntut pemilik barang sekarang untuk menyerahkan barangnya cuma-cuma karena ia telah membelinya dengan transaksi yang sah.
- Dalam jual beli, Islam tidak membebani pembeli untuk menanyakan kepada penjual ‘ini barang curian atau bukan? dapatnya dari mana? halal atau tidak cara mendapatkannya?’ atau semacamnya. Karena jika Islam membebani demikian, tentu pemilik barang sekarang dituntut tanggung jawabnya dan dikenai hukuman karena telah berbuat kesalahan tidak menanyakan demikian ketika membeli.
- Syaikh Al Albani menjelaskan faidah hadits ini: “Seorang qadhi (hakim) tidak wajib membuat keputusan berdasarkan pendapat khalifah jika telah jelas baginya bahwa pendapat tersebut menyelisihi sunnah. Lihatlah, Usaid bin Zhuhair menolak apa yang yang diperintahkan Mua’wiyah dengan berkata: ‘Aku tidak akan mematuhi apa yang diputuskan Mu’awiyah tersebut’.Dalam hadits ini juga ada bantahan terhadap pemikiran orang-orang yang ada di partai-partai Islam tentang wajibnya taat terhadap keputusan khalifah yang shalih dalam suatu hukum, walaupun bertentangan dengan nash. Mereka juga mengklaim bahwa sikap demikian itu juga dilakukan oleh generasi awal kaum muslimin. Ini adalah klaim yang batil, tidak ada celah bagi mereka untuk membenarkan sikap tersebut. Bagaimana mungkin demikian, karena dengan sikap ini mereka akan menentang puluhan dalil, hadits ini salah satunya.Diantaranya juga, penyelisihan Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu terhadap pelarangan haji tamattu’ oleh Utsman bin Affan radhiallahu’anhu semasa kekhalifahannya. Beliau tidak menaati pelarangan itu dan bahkan menampakkan penyelisihannya tersebut. Sebagaimana riwayat dalam Shahih Muslim (4/46),
اجتمع علي وعثمان رضي الله عنهما
بعسفان، فكان عثمان ينهى عن المتعة أو العمرة، فقال علي: ما تريد إلى أمر فعله
رسول الله صلى الله عليه وسلم تنهى عنه؟ ! فقال عثمان: دعنا منك ! فقال: إني لا
أستطيع أن أدعك. فلما أن رأى علي ذلك أهل بهما جميعا
“Orang-orang
berkumpul pada Utsman di Asfan, ketika itu Utsman melarang haji tamattu’. Maka
‘Ali berkata: ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam? Utsman menjawab, “biarkan aku menetapkan
demikian”. Ali berkata “Aku tidak akan membiarkannya”. Kemudian walaupun Ali
berpendapat demikian, ia lalu berihram untuk keduanya sekaligus (haji qiran)‘” (Silsilah
Ahadits Shahihah, 2/165-166)
- Pejabat, hakim, dan orang-orang yang memutuskan hukum tidak wajib taat pada suatu putusan pemerintah jika aturan dan keputusan tersebut bertentangan dengan dalil. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا
لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ
طَاعَةَ
“Mendengar
dan ta’at (kepada penguasa) itu memang benar, selama mereka tidak diperintahkan
kepada maksiat. Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat, tidak boleh
mendengar dan ta’at” (HR. Bukhari no.2955)
- Ketika
pemerintah mengeluarkan keputusan yang bertentangan dengan syari’at, maka
tetap taat para pemerintah dalam hal yang ma’ruf dan tidak memberontak.
Dalam hadits ini Usaid radhiallahu’anhu hanya menyatakan
untuk tidak menaati keputusan Mu’awiyah tersebut dan tidak berniat atau
mengajak memberontak kepada Mu’awiyah radhiallahu’anhu.
Bahkan ini jelas sekali dalam kasus Ali dan Utsman radhiallahu’anhum, Ali menolak untuk menaati keputusan Utsman yang bertentangan dengan dalil, bahkan Ali menzhahirkan bolehnya haji tamattu’ kepada masyarakat dengan berkata ‘Apakah engkau ingin melarang yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?’ dalam rangka mendidik umat. Namun ketika itu, Ali tetap taat pada Utsman dengan tetap melakukan haji qiran. Dan tidak ada cerita bahwa setelah itu radhiallahu’anhu memberontak kepada Utsman gara-gara keputusan ‘Utsman tersebut. - Hadits ini dalil bahwa para sahabat radhiallahu’anhu dalam membantah dan berargumen mereka berlandaskan dalil dan mendahulukan sabda Nabi dibanding perkataan orang manapun.
Sumber Artikel : Artikel Muslim.Or.Id
Sumber Artikel : Artikel Muslim.Or.Id
Ingin Mendapat Tambahan Pahala dan Terkabul Do'a?
Sebarkan informasi ini, agar Anda mendapat Pahala Berbagai Ilmu Bermanfaat
Do'kan kebaikan untuk kami, agar Anda mendapat Kebaikan Yang sama
Do'akanlah agar pengelola website ini beserta keluarga besarnya Allah jadikan panjang umur dan bertakwa, diampuni segala dosa, sehat-kaya-bahagia hingga akhir usia. Dengan mendo'akan kebaikan untuk kami, Insya Allah Anda mendapat kebaikan yang sama.
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Do'a seseorang muslim untuk saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do'a yang mustajab (terkabulkan). Disisinya ada malaikat yang bertugas (mengaminkan do'a-nya). Setiap kali dia mendo'akan kebaikan untuk saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengan-nya." {HR. Muslim no. 2733}.
![]() |
Kunjungi TUNTUNAN ISLAM |
Kunjungi CENTRAL SELADA RAYA | |
![]() |