Kebangkitan Islam
Published by: Selada Raya, Rachmat Machmud Flimban
Kategori: Manhaj
Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani rahimahullah.
”Yang saya yakini adalah apa yang terdapat dalam hadits shahih. Ia
merupakan jawaban tegas terhadap pertanyaan semacam ini yang mungkin
dilontarkan pada masa kiwari. Hadits tersebut adalah sabda Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam :
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
بِاْلعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اْلبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ
وَتَرَكْتُم ُاْلجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لا يَنْزِعُهُ حَتَّى
تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
”Apabila kamu berjual beli dengan ’inah (jual beli
sistem riba), memegang ekor-ekor sapi, ridla (terlalu sibuk) dengan pertanian,
dan meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia
tidak akan menghilangkannya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama
kalian” [1] [HR. Abu
Dawud].
Jadi asasnya adalah rujuk (kembali) pada Islam. Persoalan ini telah
diisyaratkan oleh Al-Imam Malik رحمه الله
dalam sebuah kalimat ma’tsur yang ditulis dengan tinta emas : ”Barangsiapa yang
yang mengada-adakan bid’ah [2] di dalam Islam
kemudian menganggap bid’ah tersebut baik, berarti ia telah menganggap Muhammad shallallaahu
’alaihi wasallam mengkhianati risalah. (Padahal) Allah telah berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ
لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ
دِيناً
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu jadi agama bagimu”. [QS. Al-Maaidah : 3].
Oleh karena apa yang hari itu bukan agama, maka pada hari ini pun
bukan agama. Dan tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa yang telah
menjadi baik pada awal umat ini” [---- selesai perkataan Imam Malik ----].
Kalimat terakhir Al-Imam Malik di atas itulah yang berkaitan dengan
jawaban dari pertanyaan ini, yaitu pernyataan beliau :
لا يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ
اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا
”Tidaklah baik umat akhir ini melainkan dengan apa
yang telah menjadi baik pada awal umat ini”.
Oleh sebab itu, sebagaimana halnya orang Arab Jahiliyyah dahulu
tidak menjadi baik keadaan kecuali setelah datang Nabi mereka, Muhammad shallallaahu
’alaihi wasallam dengan membawa wahyu dari langit yang telah menyebabkan
kehidupan mereka di dunia berbahagia dan selamat dalam kehidupan akhirat.
Demikian pula seyogyanya asas yang mesti dijadikan pijakan bagi kehidupan
Islami nan membahagiakan di masa kini, yaitu tidak lain hanyalah rujuk
(kembali) kepada Al-Kitab was-Sunnah.
Hanya saja, masalahnya memerlukan sedikit penjelasan, sebab betapa
banyak jama’ah serta golongan-golongan Islam yang ada di ”lapangan” mengaku
bahwa mereka telah meletakkan sebuah manhaj yang memungkinkan dengannya
terwujud masyarakat Islam dan terwujud pelaksanaan hukum berdasarkan Islam.
Sementara itu kita mengetahui dari Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam bahwa jalan bagi terwujudnya itu semua hanya ada satu jalan,
yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya :
وَأَنّ هَـَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيماً فَاتّبِعُوهُ وَلاَ تَتّبِعُواْ السّبُلَ فَتَفَرّقَ بِكُمْ عَن
سَبِيلِهِ
”Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu
yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya” [QS. Al-An’am
: 153].
Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah
menjelaskan makna ayat ini pada para shahabatnya. Beliau satu hari
menggambarkan pada para shahabat sebuah garis lurus di atas tanah, disusul
dengan menggambar garis-garis pendek yang banyak di sisi-sisi garis lurus tadi.
Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam membacakan ayat di atas ketika
menudingkan jari tangannya yang mulia ke atas garis yang lurus dan kemudian
menunjuk garis-garis yang terdapat di sisi-sisinya (yaitu garis-garis yang
pendek – Abul-Jauzaa’.), beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ وَهَذِهِ
سُبُلُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ سَبِيل مِنْهَا الشَّيْطَانَ يَدْعُوا لَهُ
”Ini adalah jalan Allah, sedangkan
jalan-jalan ini pada setiap muara jalan-jalan tersebut ada syaithan yang
menyeru kepadanya” [Shahih, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab
Dhilalul-Jannah fii Takhriijis-Sunnah hal. 16-17] [3].
Allah ’azza wa jalla pun menguatkan ayat beserta penjelasannya dari
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits di atas dengan ayat lain,
yaitu firman-Nya :
وَمَن يُشَاقِقِ الرّسُولَ مِن
بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُ الْهُدَىَ وَيَتّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلّهِ مَا تَوَلّىَ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَآءَتْ مَصِيراً
”Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Dalam ayat ini terdapat sebuah hikmah yang tandas, yaitu bahwa
Allah ta’ala mengikatkan kalimat ’jalannya orang-orang mukmin’ kepada apa
yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Hal inilah
yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam
hadits ifitiraaq (perpecahan) ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam
ditanya tentang Al-Firqatun-Najiyyah (golongan yang selamat). Saat itu beliau
menjawab :
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ
وَأَصْحَابِيْ
”(Yaitu) apa yang aku dan shahabatku pada hari ini berada
di atasnya” [Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 203].
Apakah gerangan hikmah yang dimaksud ketika Allah menyebutkan ’jalannya
orang-orang mukmin’ [سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ]
dalam ayat di atas ? Dan apakah kiranya hal yang dimaksud ketika Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam mengikatkan para shahabatnya pada diri beliau sendiri dalam
hadits di atas ? Jawabannya : Bahwa para shahabat radliyallaahu ’anhum itu
adalah orang-orang yang telah menerima pelajaran dua wahyu (Al-Qur’an dan
As-Sunnah) langsung dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliau telah
menjelaskannya secara langsung kepada mereka tanpa perantara, tidak sebagaimana
orang-orang sesudahnya. Tentu saja hasilnya adalah seperti yang pernah
dikatakan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam sabdanya :
إنَ الشَّاهِدَ يَرَى مَا لا
يَرَى اْلغَائِبُ
”Sesungguhnya orang yang hadir akan
dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang yang tidak hadir”
[Lihat Shahihul-Jaami’ no. 1641].
Oleh sebab itulah, iman para shahabat terdahulu lebih kuat daripada
orang-orang yang datang sesudahnya. Ini pula yang telah diisyaratkan oleh
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hadits mutawatir :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
”Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Berdasarkan hal ini, seorang muslim tidaklah bisa berdiri sendiri
dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah, tetapi ia harus meminta bantuan dalam
memahami keduanya dengan kembali kepada para shahabat yang mulia, (yaitu)
orang-orang yang telah menerima pelajaran tentang keduanya langsung dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam; yang terkadang beliau menjelaskan dengan perkataan,
perbuatan, atau dengan taqrir (persetujuan) beliau.
Jika demikian, adalah mendesak sekali dalam ”mengajak orang kembali
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah” untuk menambahkan prinsip ”berjalan di atas apa
yang ditempuh As-Salafush-Shalih” dalam rangka mengamalkan ayat-ayat serta
hadits-hadits yang telah disebutkan di muka manakala Allah menyebutkan ’
jalannya orang-orang mukmin’ [سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ],
dan menyebutkan Nabi-Nya yang mulia serta para shahabatnya dengan maksud
supaya memahami Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang dipahami kaum
salaf (generasi pertama dari kalangan shahabat radliyallaahu ’anhum dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik).
Kemudian, dalam hal ini ada satu persoalan yang teramat penting
namun dilupakan oleh banyak kalangan jama’ah serta hizb-hizb Islam. Persoalan
itu adalah ” Jalan mana gerangan yang dapat digunakan untuk mengetahui apa yang
ditempuh oleh para shahabat dalam memahami dan memaksanakan sunnah ini
?”. Jawabannya : ”Tidak ada jalan lain untuk menuju pemahaman itu kecuali
harus kembali kepada ilmu hadits, ilmu musthalah hadits, ilmu jarh wa ta’dil,
dan mengamalkan kaidah-kaidah serta musthalah-musthalah-nya tersebut, sehingga
para ulama dapat dengan mantap mengetahui mana yang shahih dari Nabi shallallaahu
’alaihi wasallam dan mana yang tidak shahih”.
Sebagai penutup jawaban, kami bisa engatakan dengan bahasa yang
lebih jelas kepada kaum muslimin yang betul-betul ingin kembali mendapatkan ’izzah
(kehormatan), kejayaan, dan hukum Islam, yaitu Anda harus bisa merealisasikan
dua perkara :
Pertama, Anda harus mengembalikan syari’at Islam ke dalam
benak-benak kaum muslimin dalam keadaan bersih dari segenap unsur yang menyusup
ke dalamnya, apa yang sebenarnya bukan berasal daripadanya ketika Allah
menurunkan firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً
”Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. [QS. Al-Maaidah : 3].
Mengembalikan persoalan hari ini menjadi persoalan jaman pertama
dahulu membutuhkan perjuangan ekstra keras dari para ulama kaum muslimin di
berbagai penjuru dunia.
Kedua, Kerja keras yang terus-menerus tanpa henti ini harus
dibarengi dengan ilmu yang telah terbersihkan itu. Pada hari dimana kaum
muslimin telah kembali memahami agama (dien) mereka sebagaimana yang dipahami
para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, kemudian melaksanakan
pengamalan ajaran Islam yang telah terbersihkan itu secara benar dalam semua
segi kehidupan, maka pada hari itulah kaum mukminin dapat bergembira merasakan
kemenangan yang datangnya dari Allah.
Inilah yang bisa saya katakan dalam ketergesa-gesaan ini dengan
memohon kepada Allah agar Dia memberikan pemahaman Islam secara benar kepada
kita dan seluruh kaum muslimin sesuai dengan tuntunan Kitab-Nya dan Sunnah
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang sahih sebagaimana yang ditempuh
oleh Salafunash-Shaalih. Kita memohon kepada Allah agar Dia memberi taufiq
kepada kita supaya dapat mengamalkan yang demikian itu. Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.
Wallaahu a’lam”
[selesai perkataan Asy-Syaikh Al-Albani, sebagaimana terdapat dalam
majalah Al-Ashalah edisi 11 tanggal 15 Dzulhijjah 1414 H, Beirut].
Kita dapat memeras intisari penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani di atas
bahwa jalan mengembalikan kejayaan umat Islam adalah rujuk kepada ajaran Islam
yang murni (sebagaimana diturunkan pertama kali kepada Nabi) dalam semua segi
kehidupan, baik dalam masalah aqidah, hukum, muamalah, akhlaq, dan yang
lainnya. Dan itu semua dapat diraih dengan perantaraan ilmu. Maka kewajiban
pertama bagi setiap individu muslim adalah giat menuntut ilmu. Setelah ilmu
kita peroleh, maka kita berkewajiban untuk mengamalkan, baik pada diri sendiri
maupun keluarga secara mantap dan istimrar (kontinyu). Kemudian setelah itu,
baru kita berdakwah kepada tetangga dekat, tetangga jauh, terus sampai tataran
yang lebih luas lagi. Tidaklah kita dihinakan oleh Allah melainkan karena
kesalahan diri sendiri akibat meninggalkan ajaran agama. Dan insyaAllah
kehinaan itu akan diangkat Allah jika kita kembali ke ajaran Islam yang murni
dalam ilmu dan pengamalan. Wallaahu a’lam.
[2] Sesuatu hal yang baru dalam agama yang tidak
berlandaskan dalil (tidak berdasarkan contoh dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam) – Abul-Jauzaa’.
[3] Riwayat yang tercantum dalam Kitabus-Sunnah
karya Imam Ibnu Abi ‘Ashim (bersama Dhilalul-Jannah) yang dimaksud Syaikh
adalah :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا
جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَخَطَّ خَطًّا هَكَذَا أَمَامَهُ
فَقَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَخَطَّ خَطًّا عَنْ يَمِينِهِ
وَخَطَّ خَطًّا عَنْ شِمَالِهِ وَقَالَ هَذِهِ سُبُلُ الشَّيْطَانِ ثُمَّ وَضَعَ
يَدَهُ فِي الْخَطِّ الأَوْسَطِ ثُمَّ تَلا هَذِهِ الآيَةَ {وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dari Jabir bin ‘Abdilah ia berkata :
“Kami pernah duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau
menggambar sebuah garis seperti ini di depan beliau. Maka beliu bersabda : ‘Ini
adalah jalan Allah ‘azza wa jalla’. Kemudian beliau pun menggambar garis di
kanan dan kiri (di samping garis awal). Beliau bersabda : ‘Ini adalah
jalan-jalan syaithan’. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meletakan
tangannya di atas garis yang tengah (yaitu garis yang digambar awal) seraya
membaca firman Allah : ”Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu
yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” [As-Sunnah oleh Al-Hafidh
Ibnu Abi ’Ashim no. 16, Al-Maktab Al-Islamy, Beirut; Cet. I, 1400 H]. –
Abul-Jauzaa’.
Label: Manhaj
Sumber Artikel : Abu Al-Jauzaa
Published by: Selada Raya, Rachmat Machmud Flimban
![]() |
TUNTUNAN ISLAM |
CENTRAL SELADA RAYA | |