Hukum Adzan Kedua di Hari Jum'at
Adzan Saat Shalat JUM’AT dan Tatswib Saat SUBUH
Soal:
Assalamu’alaikum. Kami mendapati pada sebagian masjid ada yang menjadikan adzan untuk shalat Jum’at sekali dan ada yang dua kali, sebagaimana ada juga yang menjadikan tatswib pada adzan pertama sebelum subuh dan ada yang saat adzan subuh. Kami mohon penjelasan tentang perbedaan ini. Manakah yang benar dan bagaimana menyikapinya?! Jazakumullahu khairan. (Hamba Allah, via sms)
Jawab:
Masalah ini adalah masalah yang diperselisihkan ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebab itu, sebelum kami mengetengahkan jawaban atas pertanyaan ini, perlu kiranya kami menghimbau kepada saudara-saudara kami untuk menyikapi perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini dengan bijak, yaitu sikap lapang dada. Masalah ini juga hendaknya menjadikan kita untuk lebih memperluas wacana tentang perselisihan ulama, karena sebagaimana kata Imam Qatadah, “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih.”[1]
Adapun mengenai pertanyaan Saudara, terdapat dua permasalahan yang perlu dijelaskan:
MASALAH KEDUA: ADZAN JUMAT DUA KALI[1]
Adzan untuk shalat Jum’at pada zaman Nabi صلى الله عليه وسلم hanya sekali saja, demikian juga pada masa Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما, yaitu ketika imam naik di atas mimbar. Namun, tatkala pada masa Khalifah Utsman رضي الله عنه, beliau menambah adzan kedua untuk shalat Jum’at karena melihat banyaknya orang.
عَنْ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا، أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Dan Sa’ib bin Yazid berkata, “Sesungguhnya adzan pada hari Jum’at pada awalnya adalah ketika imam duduk pada hari Jum’at di atas mimbar pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم, juga Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما. Tatkala pada masa Khalifah Utsman رضي الله عنه dan manusia telah banyak, maka beliau memerintahkan pada hari Jum’at dengan adzan ketiga, dikumandangkan pada pasar az-Zaura’. Akhirnya, tetaplah perkara tersebut.”[2]
Maksud ucapan Sa’ib bin Yazid “Utsman memerintahkan dengan adzan ketiga” yakni dengan (termasuk) iqamat karena iqamat juga disebut adzan.
Para fuqaha (ahli fiqih) berselisih pendapat tentang hukum adzan kedua untuk hari Jum’at sebagai berikut:
Pendapat Pertama:
Hukumnya’ sunnah, hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama ahli fiqih[3] dan di-pilih oleh Lajnah Da’imah[4], Syaikh Abdul Aziz bin Baz[5], Syaikh Ibnu Utsaimin[6], dll. Dalil mereka sebagai berikut:
1. Sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Segi perdalilannya dari hadits, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan kepada kita untuk mengikuti sunnah Khulafa’ur Rasyidin, sedangkan Utsman رضي الله عنه termasuk Khulafa’ur Rasyidin, sehingga mengikuti adzannya adalah termasuk syari’at yang diikuti.
2. Ijma’ sahabat, karena sahabat Utsman رضي الله عنه memerintahkan adzan ini pada masa sahabat masih banyak, dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.[8]
Pendapat Kedua:
Hukumnya tidak disyari’atkan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i[9], sebuah riwayat dari Imam Malik[10] dan sebagian Hanafiyyah[11], didukung oleh ash-Shan’ani[12] dan al-Albani[13]. Dalil mereka:
- Mengikuti Sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم, Abu Bakar رضي الله عنه, dan Umar رضي الله عنه lebih utama.
- Sebagian riwayat dari para salaf seperti Ibnu Umar رضي الله عنهما, Hasan al-Bashri رحمه الله, Atha’ رحمه الله, dan sebagainya yang menyatakan bahwa adzan dua kali pada hari Jum’at adalah muhdats (perkara baru).
- Khalifah Utsman رضي الله عنه, mengadakan adzan kedua karena suatu sebab yaitu banyaknya manusia dan jauhnya rumah, padahal sebab tersebut sudah tidak ada pada zaman sekarang karena adanya jam dan jadwal shalat.
Demikianlah, sebagaimana Anda lihat, hujjah masing-masing pendapat cukup kuat sehingga harus kita akui bahwa masalah ini termasuk masalah khilafiyyah yang muktabar (perselisihan yang dianggap), maka berlapang-dadalah wahai saudaraku terhadap perselisihan seperti ini dan janganlah engkau sesak dada dengan adanya orang yang menyelisihi pendapat Anda.
Sebagaimana janganlah kita gegabah untuk memvonis orang yang menyelisihi kita dengan kata bid’ah, apalagi pendapat pertama diikuti oleh mayoritas ulama yang kita semua cintai. Kita harus pandai-pandai menjaga persatuan barisan kita dan jangan sampai perselisihan ini menjadikan kita saling bermusuhan. Alangkah bagusnya nasihat Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله, “Hendaknya bagi para penuntut ilmu khusus-nya dan semua manusia umumnya untuk berusaha menuju persatuan semampu mungkin, karena bidikan utama orang-orang fasik dan kafir adalah bagaimana orang-orang baik berselisih di antara mereka, sebab tidak ada senjata yang lebih ampuh daripada memecah belah persatuan ,”[14]
Faedah. Hendaknya antara adzan pertama dan adzan kedua ada jarak yang cukup untuk persiapan menghadiri Jum’at—misalnya kurang lebih satu jam. Adapun jarak yang singkat—seperti hanya lima menit atau sepuluh menit—sebagaimana yang ada di sebagian masjid, maka hal ini keliru karena tujuan adanya adzan pertama adalah agar manusia meninggalkan pekerjaan mereka dan persiapan shalat Jum’at.[15] []
Disalin dari Majalah Al-Furqon, No.128 Ed.3 Th.ke-12_1433H/2012M Rubrik Soal-Jawab asuhan Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi خفظه الله.
- [1] Masalah pertama telah kami posting sebelumnya, secara lengkap kedua Masalah dapat dilihat dengan mendownload eBook-nya. Ibnu Majjah
- [2] HR. Bukhari: 874
- [3] Bada’i’ ash-Shana’i’ 1/152, Fathul Bari 2/458, al-Kafi Ibnu Qudamah 1/222.
- [4] Fatawa Lajnah Da’imah 8/198
- [5] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 12/347
- [6] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 15/123-124
- [7] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/126-127, Abu Dawud: 4607, Tirmidzi: 2676, Ibnu Majah: 42, 43, ad-Darimi: 96, Ibnu Hibban: 5, al-Hakim 1/95-97, al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila Sunan Kubra: 50-51 dan Sunan Kubra 10/114 serta al-I’tiqad hlm. 301, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi: 2024-2026, Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah: 27-33, al-Ajurri dalam asy-Syari’ah hlm. 46-47 dan Arba’una Haditsanhlm. 33, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah: 102, Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 18/246-249, 257, danMil’jam al-Ausath: 66. Dishahihkan Tirmidzi, al-Harawi, al-Bazar, Ibnu Abdil Barr, Abu Nu’aim, al-Hakim, al-Baghawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim, asy-Syathibi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, dan al-Albani dalam ash-Shahihah: 937
- [8] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/193-194.
- [9] Al-Umm 1/190
- [10] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 18/88-89
- [11] Ahkamul Qur’an 5/336 oleh al-Jashash
- [12] Subulus Salam 1/217
- [13] Al-Ajwibah an-Nafi’ah hlm. 26
- [14] Asy-Syarh al-Mumti’ 4/63
- [15] Dinukil dari al-Fiqh al-Muyassar 1/246-250 oleh Abdullah ath-Thayyar dkk. dengan beberapa tambahan.