Print Friendly and PDF Salafiyah Madzhab Baru Dan Bid'ah | PERUMNAS I Selada Raya
Home » » Salafiyah Madzhab Baru Dan Bid'ah

Salafiyah Madzhab Baru Dan Bid'ah

Written By Rachmat.M.Flimban on 14 April 2013 | 00.35

Print Friendly and PDFPrint Friendly

SALAFIYAH MADZHAB BARU DAN BID’AH

Al-Ustadz Firanda  Andirja

Diantara syubhat yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang membenci salafiyin adalah bahwasanya salafiyah sendiri adalah madzhab yang baru dan bid’ah.

Yang sangat dikenal menggembar-gemborkan syubhat ini adalah seorang yang bernama Muhammad Sa’id Romadhon Al-Buthy dalam kitabnya Al-Laa Mazhabiyah, Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu As-Syariah Al-Islamiyah (artinya : Tidak bermadzhab merupakan bid’ah yang paling berbahaya yang mengancam syari’at Islam). Dalam kitab tersebut terlalu banyak kedustaan yang dituduhkan oleh Al-Buuthy kepada salafiyin (Ahlus Sunnah wal Jam’ah sejati). Alhamdulillah buku ini telah dibantah dengan jelas dan lugas oleh Syaikh Muhammad ‘Ied ‘Abbaasy (salah seorang murid Syaikh Al-Albani rahimahullah) dalam kitabnya Bid’at at-Ta’sshub Al-Madzhabi (artinya : Bid’ahnya fanatik madzhab, silahkan didownload di
http://www.4shared.com/get/JXqDBNC2/___online.html;jsessionid=6A96B9F4D8183B8C501CF7FD6AE762D5.dc516), silahkan juga baca artikel berikut http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/01/ahmad-sarwat-al-buuthiy-dan-al-albaaniy.html)

Sebagian orang menyangka bahwa salafiyah adalah madzhab baru yang menyelisihi empat madzhab yang masyhur (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Bahkan sebagian orang menuduh bahwa salafiyin merendahkan para imam madzhab tersebut. Sungguh ini jelas-jelas merupakan kedustaan yang sangat-sangat nyata. Akan tetapi anehnya selalu saja kedustaan yang sangat nyata ini masih tetap terus digembar-gemborkan oleh sebagian kaum aswaja.

Sangat nampak kedustaan tuduhan ini dari sisi-sisi berikut :

Pertama : Bagaimana dikatakan bahwa salafiyah adalah aliran yang memerangi 4 madzhab yang masyhur, sementara para ulama salafiyin banyak yang merupakan ulama madzhab hanbali, seperti : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab (yang dituduh mencetuskan aliran wahhabi) rahimahumullah. Mereka semua adalah para ulama madzhab hanbali. Akan tetapi mereka tidaklah fanatik buta terhadap madzhab hambali. Karenanya jika ada pendapat dari madzhab lain yang lebih kuat dalilnya dalam pandangan mereka maka merekapun meninggalkan madzhab hanbali dan mengikuti madzhab yang lain pada pendapat tersebut.

Kedua : Demikian pula para ulama salafiyin zaman sekarang (yang mayoritasnya dari Kerajaan Arab Saudi), kebanyakan mereka bermadzhab hanbali, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan Syaikh Muhammad Sholeh al-’Utsaimin rahimahumallah. Demikian pula para ulama besar di kerajaan Arab Saudi, rata-rata mereka bermadzhab hanbali, akan tetapi mereka sama sekali tidak fanatik dengan madzhab hanbali

Ketiga : Universitas Islam Madinah/Islamic University of Medina (الجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة) yang didirikan oleh tiga ulama dari para ulama salafiyin (Syaikh Bin Baaz yang bermadzhab hanbali, Syaikh Muhammad Al-Amiin As-Syingqity rahimahullah yang bermadzhab maliki, serta Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani) ternyata Universitas Islam Madinah meletakkan kurikulum untuk mata kuliah Fikih adalah kitab Bidaayatul Mujtahid karangan Ibnu Rusyd. Yang kitab ini adalah kitab perbandingan 4 madzhab bahkan madzhab-madzhab selain 4 madzhab juga. Ini menunjukkan bahwa salafiyin justru sangat menghormati para ulama madzhab.

Keempat : Bagaimana dikatakan wahabi atau salafiyin membenci atau memerangi madzhab-madzhab dan para imam, sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menulis sebuah kitab yang sangat agung yang berjudul رفعُ الملامِ عن الأئمة الأعلام (artinya : Menghilangkan celaan dari para imam). Dalam kitab ini Syaikhul Islam membela para imam, diantaranya para imam madzhab, dan melarang untuk mencela mereka. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan banyak sekali udzur kepada para imam tersebut jika memang ternyata ada kesalahan yang mereka lakukan.

Kelima :  Yang lebih aneh adalah orang-orang yang menuduh salafiyin taklid kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah. Sungguh ini merupakan kedustaan besar-besaran. Tidak seorangpun ulama salafy yang menyuruh untuk bertaklid kepada mereka. Bahkan Syaikh Al-Albani tentu sangat tidak ridho jika dirinya ditaqlidi.

Sebagai bukti lihatlah terlalu banyak ulama salafy yang lain yang menyelisihi Syaikh Al-Albani dalam permasalahan-permasalahan fikih. Barang siapa yang menuntut ilmu di kerajaan Arab Saudi maka sungguh ia akan sangat paham akan hal ini.

Keenam : Bagi yang masih bersikeras (ngeyel) menuduh salafiyin tidak menghormati para ulama madzhab, maka coba perhatikanlah tulisan-tulisan para ustadz salafy di internet (sebagai bukti silahkan lihat tulisan-tulisan saya di www.firanda.com, bukankah artikel-artikel fikih bahkan artikel-artikel tentang akidah yang saya sampaikan selalu saya cantumkan perkataan dan pendapat para ulama madzhab?, baik madzhab syafiiyah maupun madzhab-madzhab yang lain??

Bahkan kami para mahasiswa di Universitas Islam Madinah jika menulis pembahasan ilmiyah (thesis atau disertasi) lantas tidak mencantumkan perkataan-perkataan para ulama salaf (termasuk para ulama madzhab) dan hanya bersandar kepada perkataan ulama zaman sekarang maka tulisan kami tersebut dianggap lemah dan tidak ilmiyah. Kami dalam menulis selalu berusaha selain menampilkan dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah maka kami selalu berusaha menampilkan perkataan dan pendapat para ulama terdahulu !!!

Ketujuh : Bahkan betapa banyak buku-buku fikih baik dari madzhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hanbali yang ditahqiq (dikeluarkan dari tulisan manuskrip menjadi tulisan komputer) di Universitas-universitas Arab Saudi, baik Universitas Islam Madinah maupun universitas-universitas yang lainnya.

Dengan poin-poin di atas maka jelaslah bahwa salafiyah bukanlah mazdzhab yang baru dan bid’ah, akan tetapi justru salafiyah adalah pemahaman yang sangat menghormati para ulama madzhab. Hanya saja salafiyah melarang adanya bentuk fanatik madzhab, yaitu fanatik yang mengantarkan seseorang hanya berpegang kepada madzhabnya, dan tidak mau menerima dari madzhab yang lain, bahkan jika telah nyata kebenaran berada bersama madzhab yang lain.

Haruskah Bermadzhab Dengan Satu Madzhab Saja ??!!

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

“Apakah boleh seorang awam untuk memilih dan bertaqlid (mengikuti) madzhab mana saja yang ia suka?

Dilihat, jika ia adalah seorang yang berintisab (berafiliasi) kepada suatu madzhab maka dibangun diatas dua pendapat sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Qodhi Husain tentang bahwasanya seorang awam memiliki madzhab atau tidak?

Pertama : Seorang awam tidak memiliki madzhab (tertentu) karena madzhab hanyalah dimiliki oleh seorang yang mengerti tentang dalil. Berdasarkan ini maka boleh baginya untuk meminta fatwa kepada siapa saja.

(Kedua) Pendapat yang paling tepat diantara dua pendapat : Bahwasanya seorang awam memiliki madzhab, maka tidak boleh baginya untuk menyelisihi madzhabnya.

Jika ia tidak berafiliasi kepada madzhab tertentu, maka dibangun di atas dua wajah (pendapat), sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnu Barhan dari para sahabat kami (fuqohaa syafi’iyah) bahwasanya seorang awam apakah boleh baginya terikat dengan madzhab tertentu?

Pertama : Tidak harus baginya (terikat dengan madzhab tertentu). Dan jika demikian, bolehkah ia bertaqlid kepada siapa saja, ataukah ia mencari madzhab yang paling tepat, lalu ia bertaqlid kepada pengikut madzhab tersebut?. Ada dua pendapat; sebagaimana mencari orang yang paling alim.

Kedua : dan inilah pendapat yang dipastikan oleh Abul Hasan Ilkiya : Ia harus terikat dengan madzhab tertentu. Dan ini berlaku pada setiap orang yang telah mencapai derajat ijtihad dari kalangan fuqoha (ahli fikih) dan seluruh ahli ilmu-ilmu, agar tidak dicari-cari pendapat-pendapat yang ringan dari madzhab-madzhab. Hal ini berbeda dengan kurun pertama, tatkala itu madzhab-madzhab belum terkumpulkan (tertulis rapi). Dan atas dasar ini maka ia harus memilihi suatu madzhab untuk ia taqlidi dalam segala hal, akan tetapi tidak boleh baginya bermadzhab sesuai hawa nafsunya, dan juga bukan karena mengikuti madzhab bapaknya.

Ini adalah perkataan ashaab (para fuqohaa syafi’iyah). Dan yang merupakan konsekuensi dalil bahwasanya tidak harus baginya untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu, akan tetapi ia meminta fatwa kepada siapa yang ia kehendaki atau orang yang ia temui akan tetapi mencari-cari keringanan-keringanan. Dan mungkin saja ulama yang melarangnya (untuk tidak terikat dengan madzhab) dikarenakan ketidakpercayaan terhadap sikap tidak mencari-cari keringanan-keringanan”(Roudhot At-Thoolibiin 8/101)

Dari pemaparan Al-Imam An-Nawawi di atas dapat kita simpulkan 3 perkara :

(1) Pembicaraan mayoritas para ulama tentang kewajiban mengikuti madzhab tertentu adalah tertuju pada orang awam yang tidak mengerti akan dalil. Bukan pada setiap orang yang mengerti dalil, terlebih lagi yang telah mencapai derajat ijtihad. Kecuali yang dinukilakan dari Abul Hasan Ilkiya rahimahullah yang mengharuskan untuk terikat kepada madzhab tertentu bahkan wajib bagi orang yang telah mencapai derajat ijtihad

(2) Bahwasanya para ulama yang mewajibkan seorang awam untuk mengikuti madzhab tertentu karena mengkhawatirkan orang awam tersebut akan mencari-cari dan memilih pendapat-pendapat yang ringan-ringan dari berbagai madzhab sesuai hawa nafsunya.

(3) Pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi –sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil- bahwasanya tidak wajib bagi seorang awam untuk mengikuti madzhab tertentu. Akan tetapi boleh baginya untuk meminta fatwa kepada ulama yang ia kehendaki. Akan tetapi Al-Imam An-Nawawi memberi persyaratan bahwa orang awam tersebut tidak boleh mengikuti hawa nafsunya bebas memilih dan mengumpulkan pendapat-pendapat yang paling ringan dari berbagai madzhab.

Pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah inilah yang benar yang ditunjukkan oleh dalil dan akal sehat. Hal ini ditunjukkan oleh perkara-perkara berikut :

Pertama : Tidak ada dalil yang memerintahkan kita untuk mengikuti madzhab tertentu. Akan tetapi yang diperintahkan oleh Allah adalah mengikuti al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka pendapat manapun yang lebih sesuai dengan penunjukan dalil maka itulah yang wajib untuk diikuti. Allah berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An-Nisaa : 59)

Kedua : Mengharuskan seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu melazimkan bahwa madzhab tersebut adalah madzhab yang ma’sum tidak ada kesalahannya.

Atau mengharuskan seseorang untuk mengikuti pendapat imam madzhab tertentu melazimkan bahwa imam tersebut adalah seorang yang ma’sum dan tidak memiliki kesalahan. Hal ini jelas merupakan kesalahan, karena tidak seorangpun yang ma’sum kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ketiga : Hal ini juga bertentangan dengan wasiat para imam madzhab tersebut. Terlalu banyak nukilan dari mereka untuk berpegang kepada dalil terlebih lagi jika dalil menyelisihi pendapat mereka. Karena tidak seorangpun imam yang menguasai seluruh dalil, pasti ada saja dalil yang samar dan luput darinya.

Keempat : Hal ini juga menyelisihi praktek yang dilakukan oleh para imam madzhab tertentu. Bukankah Al-Imam Asy-Syafi’i adalah murid Al-Imam Malik?, dan Al-Imam Ahmad adalah murid dari Al-Imam Asy-Syafi’i?. Ternyata Al-Imam Malik tidak mewajibkan Al-Imam Asy-Syafi’i untuk mengikuti madzhabnya. Bahkan Al-Imam As-Syafii malah membuat madzhab tersendiri yang menyelisihi gurunya. Demikian pula perihalnya antara Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, justru Al-Imam Ahmad malah membuat madzhab baru yang menyelisihi madzhab gurunya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah

Kelima : Empat madzhab yang masyhur munculnya belakangan, tentunya di zaman para sahabat dan para tabi’in tidak ada madzhab-madzhab ini. Sehingga jelaslah mereka tidaklah bermadzhab, akan tetapi madzhab mereka adalah madzhab dalil, yaitu kebenaran mengikuti dalil yang mereka temukan.

Keenam : Ternyata ada madzhab-madzhab yang lain selain 4 madzhab yang masyhur tersebut. Dahulu ada juga madzhab Ats-Tsauri, Madzhab Ibnu ‘Uyainah, Madzhab Ishaq bin Rahuuyah, Madzhab Al-Auza’i dan yang lainnya. Karena para ulama bukanlah hanya 4 imam madzhab tersebut. Karenanya membatasi kebenaran hanya pada 4 madzhab adalah pendapat yang salah. Terlebih lagi membatasi kebenaran hanya pada satu madzhab saja??!!.

Madzhab adalah ibarat dari ajaran seorang ulama yang dikembangkan oleh murid-muridnya lalu diatur dan ditata rapi sehingga banyaklah pengikutnya. Ke-4 madzhab tersebut (Madzhab Hanafi, Maliki,, Syafii, dan Ahmad) menjadi mashyhur karena banyak pengikutnya dan banyak ilmu mereka yang terkumpulkan dan teratur rapi. Adapun ulama-ulama yang lain tidak memiliki pengikut sebanyak 4 imam madzhab tersebut.

Ketujuh :  Kita dapati ternyata sebagian imam madzhab berubah pendapat mereka. Sebagai contoh nyata adalah Al-Imam Asy-Syafii yang memiliki dua pendapat : Al-Qoul al-Qodiim (pendapat lama) dan al-Qoul al-Jadid (pendapat baru). Tatkala al-Imam Asy-Syafi’i berpindah dari Iraq ke Mesir maka ada pendapat-pendapat beliau yang berubah karena perubahan ijtihad beliau, sehingga perubahan ijtihad ini dikenal dengan al-Qoul al-Jadid (pendapat baru).

Demikian juga para imam yang lain, seperti al-Imam Ahmad bahkan kita dapati dalam satu permasalahan diriwayatkan dari beliau empat pendapat.

Karenanya bahkan kita dapati sebagian ulama-ulama besar berubah madzhabnya, seperti Ibnu Daqiq Al-’Ied yang dahulunya bermadzhab maliki lalu berubah bermadzhab syafi’i.

Penutup :

Berafiliasi kepada suatu madzhab bukanlah perkara yang tercela bahkan tidak boleh diingkari, karena kebanyakan fuqohaa mereka terbina dan berkembang dengan mempelajari kitab-kitab madzhab tertentu. Akan tetapi yang tercela adalah ta’asshub (fanatik) kepada madzhab tertentu, yang seakan-akan bahwa madzhabnyalah yang paling benar dan yang lainnya salah, atau bahkan tetap membela pendapat suatu madzhab dalam permasalahan tertentu padahal telah jelas menyelisihi dalil.

Syaikh Bin Baaz rahimahullah ditanya :

هل الإنسان ملزم باتباع مذهب معين، وهناك كتاب عنوانه: (ألا مذهبية أخطر بدعة تهدد الشريعة الإسلامية)، هل ألا المذهبية بدعة، وكتاب آخر عنوانه : (السلفية مرحلة متميزة مباركة ولكنها ليست مذهباً إسلامياً)، ما هو رأيكم فيما سبق؟ جزاكم الله خيراً، والكتابان الذين ذكرتهما لعالم كبير

“Apakah seseorang wajib untuk mengikuti madzhab tertentu?, ada sebuah buku yang berjudul “Laa Madzhabiyah Akhtoru bid’atin tuhaddidu as-Syari’ah al-Islaamiyah” (artinya : Tidak bermadzhab merupakan bid’ah yang paling berbahaya yang mengancam syari’at Islam) dan buku yang lain yang berjudul “As-Salafiyah marhalah mutamaiyyizah mubaarokah walaakinnahaa laisat madzhaban islamiyan” (artinya : Salafiyah adalah fase yang mulia penuh keberkahan akan tetapi ia bukanlah madzhab islami). Apa pendapat anda tentang hal ini?, semoga Allah membalas kebaikan kepada anda. Dan kedua kitab tersebut yang aku sebutkan adalah karya seorang ulama besar (yaitu Muhammad Sa’id Romadhon Al-Buuthy-pen).

Syaikh Bin Baaz menjawab :

المذهبية ليست بلازمة، ومن قال أنه يلزم الناس أن يتمذهبوا كمذهب أحمد, أو مالك, أو الشافعي فقوله غير صحيح, فالمذاهب جديدة حدثت بعد الصحابه و بعد التابعين, فليست لازمة لأحد إنما هي أقوال علماء اشتهروا ودونت أقوالهم, فاشتهرت هذه المذاهب كأحمد-رحمه الله-ومالك-رحمه الله-والشافعي-رحمه الله-وأبو حنيفة-رحمه الله-علماء من جنس الثوري, ومن جنس الأوزاعي، ومن جنس إسحاق بن راهويه, وكما أنه لا يلزمنا أن نأخذ أقوال الثوري, أو ابن عيينة, أو إسحاق, أو الأوزاعي, أو غيرهم, فهكذا لا يلزمنا أن نأخذ قول أحمد, أو مالك, أو الشافعي, أو أبي حنيفة, ولكن ننظر في مسائل الخلاف فما وافق الحق من أقوالهم أخذناه وما خالفه تركناه, وما أجمع عليه العلماء وجب الأخذ به ولم يكن هناك عذر في مخالفته, ما أجمعوا عليه وجب الأخذ به والتمسك به, وما اختلفوا فيه وجب عرضه على الكتاب والسنة كما قال الله-عزوجل-: فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ، فما وافق الكتاب والسنة أخذناه, وما خالفهما تركناه, وقول من قال ألا مذهبية هذا إن أراد ألا يجب التمذهب وليس بلازم فهو صحيح

Bermadzhab bukanlah suatu keharusan. Barang siapa yang mengatakan orang-orang harus bermadzhab seperti madzhab Ahmad, atau Malik, atau Asy-Syafii, maka perkataannya tidaklah benar. Madzhab-madzhab adalah perkara yang baru timbul setelah zaman para sahabat dan para tabi’in, maka tidak lazim bagi seseorang. Madzhab-madzhab hanyalah merupakan pendapat-pendapat para ulama yang terkenal lalu dikumpulkanlah pendapat-pendapat mereka, lalu tersohorlah madzhab-madzhab ini seperti Imam Ahmad rahimahullah, Malik rahimahullah, Asy-Syafi’i rahimahullah, dan Abu Hanifah rahimahullah. Para ulama yang lain seperti Ats-Tsauri, seperti Al-Auzaa’i, seperti Ishaaq bin Rohuyah, maka sebagaimana tidak ada keharusan bagi kita untuk mengikuti pendapat Ats-Tsauri, atau Ibnu ‘Uyainah, atau Ishaaq, atau Al-Auzaa’i, atau yang lainnya, maka demikian pula tidak ada keharusan bagi kita untuk mengikuti pendapat Ahmad, atau Malik atau Asy-Syafi’i, atau Abu Hanifah. Akan tetapi kita mengamati permasalahan-pemasahan khilafiyah, maka mana saja pendapat mereka yang sesuai dengan al-haq (kebenaran) maka kita ambil dan pendapat mereka yang menyelisihi kebenaran maka kita tinggalkan. Dan pendapat yang telah disepakati oleh para ulama maka wajib untuk diikuti dan tidak ada udzur untuk menyelisihinya. Apa yang mereka sepakati wajib untuk diambil dipegang teguh. Apa yang mereka perselisihkan maka wajib untuk dipaparkan/dihukumkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla ;

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),(QS An-Nisaa : 59)

Maka pendapat yang sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah kita ambil dan yang menyelisihi kita tinggalkan. Dan perkataan orang yang mengatakan bahwa “Tidak bermadzhab”, jika maksudnya tidak wajib untuk bermadzhab dan tidak harus maka perkataannya benar.

وإن أراد أنه لا يجوز أن ينتسب فليس بصحيح يجوز أن ينتسب الأنسان إلى شافعياً, أو حنبلياً, أو مالكياً, أو حنفياً؛ لأنه نشأ على ذلك, وتعلم على مشائخهم ونحو ذلك لا بأس أن ينتسب, الانتساب لا يضر إنما المهم ألا يقلد أو يتعصب, فمتى ظهر الحق أخذ به ولو في غير مذهبه, فلا يجوز التعصب و التقليد الأعمى, فإن أراد من قال ألا مذهبية وأراد ألا تعصباً ولا تقليد أعمى فهذا صحيح, أما إذا أراد أنه لا يجوز الانتساب إلى هذه المذاهب هذا مخالف لما عليه أهل العلم ولا وجه له, إنما المنكر التعصب لزيد أو عمر, ولو قال خطأً, والتقليد الأعمى الذي ليس معه نظر ولا تفكير في الأدلة هذا هو الممنوع, وأما كونه ينتسب لمذهب لكنه يخالفه فيما خالف الحق ويأخذ بالحق مع من كان هذا صواب

Dan jika maskudnya adalah tidak boleh berafiliasi kepada madzhab maka ini tidaklah benar. Boleh seseorang untuk berafiliasi kepada Asy-Syafii atau Hanbali atau Maliki, atau Hanafi karena ia tumbuh di atas madzhab tersebut dan belajar dari guru-gurunya dan yang semisalnya, tidak mengapa ia berafiliasi. Afiliasi tidaklah mengapa, yang penting ia tidak bertaklid atau fanatik. Kapan saja nampak kebenaran maka ia ambil kebenaran tersebut meskipun berada di luar madzhabnya. Maka tidak diperbolehkan fanatik dan taklid buta.

Dan jika maksudnya bahwa orang yang menyatakan “Tidak Bermadzhab” adalah tidak boleh fanatik dan tidak boleh taklid buta maka hal ini benar. Adapun jika maksudnya tidak boleh berafiliasi kepada madzhab-madzhab ini maka hal ini menyelisihi para ulama dan tidak ada sisi pendalilan baginya. Yang diingkari adalah fanatik kepada si Zaid atau si Umar (si fulan dan si Fulan) meskipun si fulan tersebut mengucapkan kesalahan. Dan taklid buta yang tanpa disertai pengamatan dan pemikiran terhadap dalil-dalil itulah yang terlarang. Adapun keadaan seseorang berafiliasi kepada suatu madzhab tertentu, ia menyelisihi madzhab tersebut jika madzhabnya menyelisihi kebenaran dan ia mengambil kebenaran dari siapa saja yang membawa kebenaran, maka inilah yang benar.

وأما السلفية فالمعنى فيها سلوك مسلك السلف في أسماء الله وصفاته, والإيمان بها, وإمرارها كما جاءت من غير تحريف, ولا تعطيل, ولا تكييف, ولا تمثيل والأخذ بالدليل, وعدم التقليد الأعمى و التعصب هذا مراد السلفية, فالسلفية هي طريق النبي – صلى الله عليه وسلم – , وطريق أصحابه، هي الطريقة المحمدية إذا صار أهلها عندهم علم وعندهم بصيرة؛ لأنه قد يدعي السلفية من هو جاهل فالاعتبار بمن أتقن علم السنة, وعرف علم السنة, واتبع ما كان عليه الرسول وأصحابه, هذا هو السلفي الذي يعتني بما عليه السف الصالح, ويسير على نهجهم فيأخذ بالدليل, ويؤمن بآيات الله, وأسمائه, وصفاته, ويسير على نهج السلف في إثبات أسماء الله وصفاته, و الوجه اللائق بالله, ويقول أن القرآن كلام الله وليس مخلوق, ويقول إن الله يرى يوم القيامة, وفي الجنة يراه المؤمنون, كل هذا حق كل هذا قول السلف الصالح, وهو قول النبي – صلى الله عليه وسلم – وأصحابه, فالسلفي هو الذي ينتسب إلى سلف الأمة وهم أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – , وأتباعهم بإحسان, فإن كان فاهماً, و ملتزماً بما عليه السلف فهو صادق, وإن كان يقوله باللسان ولكنه لا يؤثره بالعمل يكون كاذباً في قوله فلا بد من الصدق

Adapun salafiah maknanya adalah mengikuti jalan para salaf dalam perihal tauhid al-Asmaa’ wa as-Sifaat, beriman dengan nama-nama dan sifat-sifatNya, dan memperlakukannya sebagaimana datangnya dalil-dalilnya tanpa melakukan tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil serta mengambil pendapat yang berdasarkan dalil, tanpa ada taklid buta dan fanatik, inilah yang dimaksud dengan salafiyah. Salafiyah adalah jalannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para sahabatnya. Dialah toriqoh Muhammadiah jika pengikutnya memiliki ilmu dan bashiroh. Karena bisa saja ada orang jahil yang mengaku mengikuti salafiyah, yang menjadi patokan adalah orang yang faham benar tentang ilmu sunnah, mengetahui ilmu sunnah dan mengikuti jalannya Rasulullah dan para sahabatnya. Inilah yang salafi yang memperhatikan jalannya para as-salaf as-sholeh, dan berjalan di atas manhaj mereka sehingga ia mengambil pendapat berdasarkan dalil, dan beriman kepada ayat-ayat Allah, beriman dengan nama-namaNya dan sifat-sifatNya. Ia berjalan di atas manhaj para salaf dalam menetapkan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya dan sifat yang sesuai dengan keagungan Allah. Ia berkata, Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Ia berkata bahwa Allah dilihat pada hari kiamat, di surga Allah dilihat oleh kaum mukminin. Semua ini adalah benar, semua ini adalah perkataan para as-salaf as-sholeh, dan ini adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para sahabatnya. Seorang salafi adalah yang barafiliasi kepada salaf umat ini yaitu para sahabat nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan para pengikut mereka. Jika ia faham dan berkonsekuensi dengan jalan para salaf maka ia telah benar. Dan jika ia hanya mengucapkan dengan lisannya akan tetapi tidak berpengaruh dalam amalnya maka ia dusta dalam pengakuannya, maka harus disertai dengan kesungguhan/kejujuran” (lihat :http://www.binbaz.org.sa/mat/10635)

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 26-05-1434 H / 07 April 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
Dikutip dari Sumber Artikel : Abunamirah.wordpress.com


Klik Gambar
print this page
Klik Download
Temukan Kami di Facebook
Twitter
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di Site ini dengan menyertakan sumber artikel



Ingin Bergabung untuk Mendapatkan Artikel-artikel Terbaru!
Silahkan Tinggalkan Alamat E-Mail Pada kolom dibawah ini,Dengan Demikian Anda akan Menerima Email Setiap ada Artikel/Posting Terbaru.


Delivered by FeedBurner


Print Friendly and PDFPrint Friendly
Share this article :


 
Support : Tuntunan Islam | Central Selada Raya | Al Islam
Copyright © 2013. PERUMNAS I Selada Raya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger