Tata Cara Berdiri Dalam Shalat
Kategori: Fiqh dan Muamalah
Kategori: Fiqh dan Muamalah
Berdiri Adalah Rukun Shalat Wajib
Berdiri ketika shalat wajib, termasuk rukun shalat.
Shalat menjadi tidak sah jika ditinggalkan. Dalil bahwa berdiri adalah rukun
shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu
tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat
Nabi bersabda kepadanya:
ارجِعْ
فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ
“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”
Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga
tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabda:
إذا قُمتَ إلى
الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…
“Jika engkau berdiri untuk shalat, ambilah wudhu lalu
menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397)
Menunjukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut
adalah hal-hal yang membuat shalat menjadi sah, diantaranya berdiri. Maka tidak
sah shalat seseorang yang tidak dilakukan dengan berdiri padahal ia mampu untuk
berdiri.
Namun jika seseorang tidak mampu shalat dengan
berdiri, boleh shalat sambil duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh sambil
berbaring. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صلِّ قائمًا
فإن لم تستطِع فقاعِدًا فإن لم تستطِعْ فعلى جَنبٍ
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka
duduk, jika tidak mampu maka sambil berbaring” (HR. Bukhari 1117)
Jika seseorang masih mampu berdiri namun mudah lelah
atau kepayahan, dibolehkan juga baginya untuk menggunakan tongkat atau berdiri
sambil bersandar.
أنَّ رسولَ
اللهِصلى الله عليه وسلم لما أسن وحمل اللحم اتخذ عمودا في مصلاه يعتمد عليه
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika sudah berusia lanjut dan lemah beliau memasang tiang di tempat
shalatnya untuk menjadi sandaran” (HR. Abu Daud 948, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Abi Daud)
Dalam keadaan-keadaan demikian, pahala yang
didapatkan tetap sempurna sebagaimana pahala shalat sambil berdiri, karena Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا مرض العبد
أو سافر كتب له مثل ما كان يعمل مقيماً صحيحاً
“Jika seorang hamba jatuh sakit atau safar, ia tetap
diberi pahala ibadah sebagaimana ketika ia sehat atau sebagaimana ketika ia
tidak dalam safar” (HR. Al Bukhari 2996).
Shalat Sunnah Boleh Sambil Duduk
Namun pada shalat sunnah, berdiri hukumnya sunnah,
namun shalat sambil duduk pahalanya setengah dari shalat sambil berdiri. Karena
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صلاةُ الرجلِ
قاعدًا نصفُ الصلاةِ
“Shalatnya seseorang dengan duduk mendapatkan
setengah pahala shalat berdiri” (HR. Muslim, 735)
Para ulama ijma tentang bolehnya shalat sunnah sambil
duduk. Ibnu Qudamah menyatakan, “aku tidak mengetahui adanya khilaf tentang
bolehnya shalat sunnah sambil duduk walaupun memang jika sambil berdiri itu
lebih afdhal” (Al Mughni, 2/105). Dan para ulama juga bersepakat bolehnya shalat
sambil bersandar atau menopang pada tongkat pada shalat sunnah (Sifatu Shalatin
Nabi Lit Tharifi, 67).
Pandangan Mata Ketika Berdiri
Sebagian ulama menganjurkan untuk memandang tempat
sujud ketika shalat. Mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut. Diantarnanya
hadits dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu
قلتُ: يا
رسولَ اللهِ !أينَ أضَعُ بصَري في الصلاةِ ؟ قال: عِندَ مَوضِعِ سُجودِكَ يا أنسُ
“Anas berkata: Wahai Rasulullah, kemana aku arahkan
pandanganku ketika shalat? Rasulullah menjawab: ke arah tempat sujudmu wahai
Anas” (HR. Al Baihaqi 2/283)
Namun hadits ini dhaif karena terdapat perawi Ar
Rabi’ bin Badr yang statusnya matrukul hadits. Juga terdapat perawi Nashr bin
Hammad yang statusnya dhaif.
كان رسولُ
اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ إذا قام إلى الصلاةِ لم ينظر إلا إلى موضعِ سجودِه
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat
tidak memandang kecuali ke arah tempat sujudnya” (HR Ibnu Adi dalam Adh Dhu’afa
6/313)
hadits ini juga lemah karena terdapat perawi Ali bin
Abi Ali Al Qurasyi statusnya majhul munkarul hadits.
دَخَلَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ
بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُودِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke
ka’bah, pandangan beliau tidak pernah lepas dari arah tempat sujud sampai beliau
keluar” (HR. Al Hakim 1/479, Ibnu Khuzaimah 3012)
hadits ini juga lemah karena periwayatan ‘Amr bin Abi
Salamah dari Zuhair ma’lul (bermasalah). Andai hadits ini shahih pun, tetap
bukan merupakan dalil yang sharih mengenai arah pandangan ketika shalat karena
hadits ini tidak berbicara tentang shalat.
Adapun hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu
أنَّ رسولَ
اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلم كان إذا صلَّى رفعَ بصرَهُ إلى السماءِ فنزلتْ {
الَّذِينَ هُمْ في صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ } فطأطأ رأسَهُ
“Dahulu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terkadang
ketika shalat memandang ke arah langit, namun setelah turun ayat ‘yaitu
orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya’ (QS. Al Mu’minun: 2) beliau
menundukkan kepalanya” (QS. Al Baihaqi 3255)
hadits ini diperselisihkan keshahihannya.
Diriwayatkan secara maushul oleh Al Baihaqi dan Al Hakim, namun yang mahfudz
adalah hadits ini mursal. Andaikan hadits ini maushul shahih pun, tidak
menunjukkan secara sharih bahwa pandangan mata ke arah tempat sujud. Namun
dinukil dari sebagian tabi’in bahwa memandang tempat sujud adalah anjuran para
sahabat Nabi,
عَنِ ابْنِ
سِيرِينَ، قَالَ: كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يَنْظُرَ الرَّجُلُ فِي صَلَاتِهِ
إِلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ
“Dari Ibnu Sirin, beliau berkata: ‘para sahabat Nabi
menganjurkan orang yang shalat untuk memandang tempat sujudnya’” (Ta’zhim Qadris
Shalah, 192)
Sebagian ulama juga menganjurkan untuk memandang
tempat kedua kaki, berdalil dengan hadits,
كان النَّاسُ
في عهدِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ، إذا قام المُصلِّي يُصلِّي لم يعْدُ
بصرُ أحدِهم موضعَ قدمَيْه
“Orang-orang dimasa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam jika shalat mereka tidak mengangkat pandangannya melebihi tempat kedua
telapak kaki mereka” (HR. Ibnu Majah 323)
namun hadits ini dhaif karena terdapat perawi yang
majhul.
Sebagian ulama juga menganjurkan untuk melihat ke
arah depan, karena itu arah kiblat. Yang tepat insya Allah, tidak ada batasan
khusus mengenai arah pandangan ketika shalat. Ibnu Abdil Barr setelah memaparkan
pendapat-pendapat para ulama, beliau berkata: “semua batasan ini tidak ada yang
didasari oleh atsar yang shahih, sehingga tidak ada yang diwajibkan untuk
dipandang ketika shalat” (At Tamhid, 17/393). Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin berkata: “dalam hal ini perkaranya luas, seseorang boleh memandang ke
arah yang dapat membuatnya lebih khusyu’, kecuali ketika duduk, ia memang ke
arah jari telunjuknya yang berisyarat karena terdapat riwayat tentang hal ini”
(Syarhul Mumthi’, 3/39).
Namun tentu saja tidak boleh melakukan pandangan yang
dilarang, yaitu:
Melihat ke atas. Sebagaimana terdapat
ancaman keras dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِى
الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ
“Hendaknya orang-orang yang memandang ke arah langit
ketika shalat itu bertaubat atau kalau tidak, penglihatan mereka tidak akan
kembali kepada mereka” (HR. Bukhari 750, Muslim 428).
Bahkan sebagian ulama ada berpendapat batalnya shalat orang yang menoleh ke atas, namun jumhur ulama berpendapat tidak batal tapi berdosa (Syarhul Mumthi’, 3/43).
Bahkan sebagian ulama ada berpendapat batalnya shalat orang yang menoleh ke atas, namun jumhur ulama berpendapat tidak batal tapi berdosa (Syarhul Mumthi’, 3/43).
Menoleh ke kanan atau ke kiri tanpa ada
kebutuhan. Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha,
سألتُ رسولَ اللهِ صلَّى
اللهُ عليهِ وسلَّمَ عن الالتفاتِ في الصلاةِ ؟ فقال : هو اختلاسٌ ، يَخْتَلِسُهُ
الشيطانُ من صلاةِ العبدِ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, tentang menoleh saat shalat. Beliau bersabda: ‘itu adalah pencopetan
yang dilakukan oleh setan terhadap shalat seorang hamba‘” (HR. Al Bukhari 751)
Adapun menoleh sebentar atau sedikit karena ada kebutuhan dibolehkan. Diantara
dalilnya, hadits tentang memperingatkan kesalahan imam:
من نابه شيءٌ
في صلاتِه فلْيُسبِّحْ ، فإنه إذا سبَّح التفتَ إليه
“Barangsiapa yang ingin memperingatkan kesalahan imam
dalam shalatnya, hendaknya bertasbih. Dan ketika bertasbih menoleh ia menoleh
kepada imam” (HR. Bukhari 684, Muslim 421).
Demikian juga banyak riwayat dari para sahabat yang menceritakan sifat shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdasarkan apa yang mereka lihat ketika sedang shalat. Dan ini melazimkan adanya tolehan ke arah Nabi sebagai imam, namun tolehan yang sedikit dan tidak mengeluarkan dari kesibukan shalat.
Bentuk Kaki Ketika Berdiri
Ketika berdiri dalam shalat, yang sesuai sunnah,
kedua kaki di renggangkan dengan jarak yang tidak terlalu renggang dan tidak
terlalu rapat. Sebagian ulama berpendapat bolehnya berdiri dengan merapatkan dua
kaki, karena ada riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma :
عَنْ سَعْدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُصَلِّي صَافًّا قَدَمَيْهِ،
وَأَنَا غُلامٌ شَابٌّ
“Dari Sa’ad bin Ibrahim, ia berkata: ‘aku melihat
Ibnu Umar shalat dengan merapatkan kedua kakinya ketika aku masih kecil’” (HR.
Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 3/250 dengan sanad shahih).
Namun pendapat ini tidak tepat karena sekedar
perbuatan sahabat bukanlah dalil dalam penetapan ibadah, lebih lagi jika
diselisihi oleh para sahabat yang lain. Sebagaimana riwayat dari Abdullah bin
Mas’ud radhiallahu’anhu,
أنه رأى رجلا
قد صف بين قدميه قال ؛ أخطأ السنة ، لو راوح بينهما كان أعجب إلي
“Ibnu Mas’ud melihat seorang lelaki yang shalat
dengan merapatkan kedua kakinya. Beliau lalu berkata: ‘Itu menyelisihi sunnah,
andai ia melakukan al murawahah (menopang dengan salah satu kakinya) itu lebih
aku sukai’” (HR. An Nasa-i 969, namun sanadnya dhaif)
Juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jausyan Al
Ghathafani (seorang tabi’in),
عَنْ
عُيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَبِي فِي الْمَسْجِدِ،
فَرَأَى رَجُلًا صَافًّا بَيْنَ قَدَمَيْهِ، فَقَالَ: أَلْزِقْ إِحْدَاهُمَا
بِالْأُخْرَى، لَقَدْ رَأَيْتُ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مَا رَأَيْتُ أَحَدًا
مِنْهُمْ فَعَلَ هَذَا قَطُّ
“dari ‘Uyainah bin Abdirrahman ia berkata, pernah aku
bersama ayahku di masjid. Ia melihat seorang lelaki yang shalat dengan
merapatkan kedua kakinya. Ayahku lalu berkata, ‘orang itu menempelkan kedua
kakinya, sungguh aku pernah melihat para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam shalat di masjid ini selama 18 tahun dan aku tidak pernah melihat
seorang pun dari mereka yang melakukan hal ini’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al
Mushannaf 2/109 dengan sanad yang shahih).
Sedangkan al murawahah yaitu menopang berat tubuh
pada satu kaki saja, sesekali yang kanan sesekali yang kiri, ini dibolehkan
ketika ada kebutuhan, misalnya ketika shalatnya sangat panjang dan lama. Ibnu
Qudamah mengatakan: “(Ketika shalat) dianjurkan untuk merenggangkan kedua kaki,
dan boleh murawahah jika memang duduknya terlalu lama. murawahah adalah
terkadang bertopang pada salah satu kaki dan terkadang pada kaki yang lain,
namun jangan sering-sering melakukan hal itu” (Al Mughni, 2/7).
Adapun menghadapkan jari-jari kaki ke arah kiblat
ketika berdiri, sebagian ulama memang menganjurkannya, namun tidak ada dalil
sharih mengenai hal ini. Adapun berargumen dengan keumuman dalil-dalil keutamaan
menghadapkan diri ke kiblat tidaklah tepat sebagaimana yang telah dibahas dalam
artikel Tata Cara Takbiratul Ihram dalam Shalat. Perkaranya dalam hal ini luas
insya Allah, karena tidak ada dalil yang membatasinya.
Namun jika pada shalat yang dilakukan secara
berjama’ah, kaki menempel erat pada kaki orang di sebelah sampai tidak ada
celah. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
اقيمو صفوفكم
وتراصوا, فانيِّ اراكم من وراء ظهري
“luruskan shaf kalian dan hendaknya kalian saling
menempel, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” (HR. Al Bukhari 719)
dalam riwayat lain, terdapat perkataan dari Anas bin
Malik,
كان أحدُنا
يَلزَقُ مَنكِبَه بمَنكِبِ صاحبِه، وقدمَه بقدمِه
“Setiap orang dari kami (para sahabat), menempelkan
pundak kami dengan pundak sebelahnya, dan kaki kami dengan kaki sebelahnya” (HR.
Al Bukhari 725)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
أقيمُوا
الصفوفَ وحاذُوا بين المناكبِ وسُدُّوا الخَللَ ولِينوا بأيدي إخوانِكم ولا تذَروا
فُرجاتٍ للشيطانِ ومن وصل صفًّا وصله اللهُ ومن قطع صفًا قطعه اللهُ
“Luruskanlah shaf, rapatkanlah bahu-bahu, dan
tutuplah celah. Namun berlemah-lembutlah terhadap tangan-tangan saudara kalian.
Dan jangan biarkan ada celah diantara shaf untuk diisi setan-setan. Barangsiapa
menyambung shaf niscaya Allah akan menyambungnya, dan barangsiapa memutuskan
shaf niscaya Allah akan memutusnya”(HR. Abu Daud 666 dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Abu Daud)
Demikian, semoga apa yang sedikit ini
bisa bermanfaat. Wallahu waliyut taufiq.
Referensi:
Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi
Dikutip dari Sumber Artikel : Muslim.Or.Id ( Dari artikel 'Tata Cara Berdiri Dalam Shalat — Muslim.Or.Id' )
Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi
Dikutip dari Sumber Artikel : Muslim.Or.Id ( Dari artikel 'Tata Cara Berdiri Dalam Shalat — Muslim.Or.Id' )
Artikel: Perumnas I Selada Raya
Kunjungi : Fatwa Ulama - Sejarah Islam dan Panduan Islam