Menghukumi Berdasarkan Yang
Zhahir
Kategori: Hadits
Kategori: Hadits
Di catat oleh Al Bukhari (2680),
Muslim (1713), An Nasa-i (5401), At Tirmidzi (1339) dan yang lainnya,
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ
أَبِيهِ ، عَنْ زَيْنَبَ ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِنَّكُمْ
تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ ،
فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ
قِطْعَةً مِنَ النَّارِ ، فَلَا يَأْخُذْهَا “
dari Hisyam bin Urwah dari
ayahnya dari Zainab dari Ummu Salamah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalian menyerahkan persengketaan kalian
kepadaku. Namun bisa jadi sebagian dari kalian lebih lihai dalam berargumen
daripada yang lain. Maka barangsiapa yang karena kelihaian argumennya itu, lalu
aku tetapkan baginya sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain.
Maka pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api
neraka. Oleh karena itu hendaknya jangan mengambil hak orang lain”.
Derajat Hadits
Semua perawinya tsiqah tanpa
keraguan. Baru dari Hisyam bin Urwah diriwayatkan oleh banyak imam dan huffadz.
Hadits ini shahih tanpa keraguan, diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dalam
Shahihain.
Diriwayatkan dari jalan lain oleh
Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya (3/261), sahabat Ibnu Umar radhiallahu’anu
dengan lafadz,
اختصم رجلان إلى النَّبيِّ صلَّى
اللهُ عليه وسلَّم, فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إنَّما أنا بشَرٌ
وإنَّما أقضي بينكما بما أسمعُ منكما ، ولعلَّ أحدَكم أن يكونَ ألحنَ بحُجَّتِه من
بعضٍ ، فمن قطعتُ له من حقِّ أخيه شيئًا, فإنَّما أقطع له قِطعةً من النَّارِ
“Ada dua orang yang membawa
persengketaannya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa.
Aku akan memutuskan perkara dari persengketaan ini berdasarkan apa yang aku
dengar dari kalian. Dan bisa jadi salah seorang dari kalian lebih lihai dalam
berargumen daripada yang lain. Maka barangsiapa yang aku tetapkan baginya
sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain. Maka pada hakekatnya
ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka‘”.
Faidah Hadits
Imam An Nawawi menjelaskan:
“dalam riwayat lain terdapat lafadz ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa‘,
maksudnya, ketika sebuah persengketaan didatangkan kepadaku, bisa jadi satu
pihak lebih pandai dalam menyampaikan argumen. Lalu aku menyangka bahwa ia yang
benar. Dan barangsiapa yang aku menangkan perkaranya untuk mengambil hak muslim
yang lain, maka sesungguhnya itu potongan api neraka baginya”.Beliau juga
menjelaskan, “makna sabda Nabi ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa‘,
maksudnya adalah penekanan tentang sifat manusiawinya, yaitu bahwa seorang
manusia tidak bisa mengetahui hal gaib dan perkara-perkara yang tersembunyi,
kecuali Allah menunjukkan hal itu. Ini juga penegasan bahwa semua perkara hukum
yang dibolehkan bagi manusia juga dibolehkan bagi Nabi. Dan Nabi hanya
menghukumi sesuatu sesuai apa yang zhahir (nampak), karena hanya Allah yang
mengetahui perkara batin (yang tersembunyi). Sehingga keputusan hukum didasari
atas bukti, sumpah atau metode lainnya yang semuanya merupakan perkara-perkara
zhahir. Tentunya dengan adanya kemungkinan yang diputuskan itu menyelisihi
hakekat sebenarnya. Karena yang dibebani hanyalah menghukumi secara
zhahir”(Syarh Muslim, 12/5).
Jika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengetahui perkara gaib ketika beliau masih hidup, terlebih lagi setelah beliau wafat. Sehingga hadits ini adalah bantahan bagi sebagian orang yang berkeyakinan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tahu perkara-perkara gaib secara mutlak sejak masih hidup bahkan hingga hari ini.
Al Khathabi menjelaskan, “maksud dari أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ yaitu ia lebih pandai
dalam berargumen”.
Kemudian beliau juga menjelaskan,
“fiqih dalam hadits ini yaitu wajib bagi hakim untuk memutuskan berdasarkan apa
yang zhahir (nampak).
Fiqih lainnya, keputusan hakim
tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Karena ketika
hakim salah dalam memutuskan maka keputusan itu bisa diabaikan, dan keputusan
itu dihasilkan dari apa yang nampak saja. Adapun hakekat kebenarannya dan juga
hukum akhirat tidak diabaikan (masih tetap berlaku).
Dalam hadits ini juga ada faidah
bahwa tidak halal di sisi Allah bagi orang yang memenangkan perkara untuk
mengambil apa yang dimenangkan itu jika ia sebenarnya tahu dirinya salah.
Lihatlah, Nabi bersabda: ‘hendaknya jangan mengambilnya. Karena pada hakekatnya
ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka‘. Masalah ini
mencakup harta, kehormatan, masalah seksual, jika semuanya itu terkait hak orang
lain maka tidak halal merebutnya” (Ma’alimus Sunan, 4/163)
Syaikh ‘Athiyyah Salim
menjelaskan hadits ini: “Ada dua orang yang bersengketa datang kepada hakim. Dan
hakim tentunya tidak mengetahui perkata gaib. Lalu salah seorang diantara dua
orang tadi, bersumpah dengan sumpah palsu misalnya, atau ia mendatangkan bukti
yang direkayasa. Hakim pun menghukumi sesuai dengan apa yang nampak, dan ia
tidak boleh menghukumi kecuali berlandaskan ilmu. Kemudian hakim pun menetapkan
putusan.Nah, sebenarnya dua orang yang bersengketa mereka lah yang sebenarnya
mengetahui hakekat kebenarannya. Adapun sang hakim, baik apa yang ia putuskan
pada hakekatnya benar ataupun ternyata salah, beliau diberi udzur. Karena ia
hanya bisa memutuskan berdasarkan apa yang nampak baginya. Juga ia hanya
menerapkan kaidah: ‘penuduh wajib mendatangkan bukti, dan sumpah itu bagi yang
tertuduh‘.
Ketika dua orang tadi keluar dari
pengadilan dengan membawa putusan dari sang hakim. Sebenarnya orang yang
memenangkan perkara mengetahui dengan pasti dalam hatinya bahwa putusan itu
keliru, apakah lalu halal baginya untuk mengikuti putusan hakim? Tidak halal.
Saat itu hendaknya ia meminta fatwa pada hatinya, apakah hatinya tenang dengan
putusan yang salah itu? Demi Allah ia tidak akan tenang. Ia akan pulang ke rumah
dengan hati yang gundah. Karena sebelum masuk pengadilan, ia statusnya zhalim.
Namun sekarang ia zhalim kuadrat bahkan sangat zhalim. Ketika belum masuk
pengadilan, ia hanya menzhalimi dirinya sendiri dan lawan sengketanya. Namun
sekarang, ia sudah menzhalimi hakim dan menzhalimi sebuah persaksian.
Oleh
karena itu seluruh ulama kecuali madzhab Hanafi berkata:
حكم الحاكم لا يحل حراماً
‘Putusan hakim tidak menghalalkan
yang haram’” (Syarh Arbain An Nawawiyyah, 60/8).
Sumber Dari
artikel 'Menghukumi Berdasarkan Yang Zhahir Muslim.Or.Id'
Artikel: Perumnas I Selada Raya
Kunjungi : Fatwa Ulama - Sejarah Islam dan Panduan Islam