Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit
Kategori: Manhaj
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ
لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39).
Dari ayat ini, sebagian ulama
mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun
pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa
ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali
apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada
perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang
lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan
untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal
ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain
melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]
Jadi sebenarnya, amalan orang lain
tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada
dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.
Namun perlu diperhatikan di sini,
amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan
dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang
mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali
jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.
Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi
si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si
mayit
Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap
muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ
سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ
آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk
kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang
sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang
yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat
yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan
iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan
dapat saling mendoakan.”[2]
Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya
di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).
Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas
mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat
tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu
tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara
do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.
Kedua: Siapa saja yang melunasi
utang si mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki
utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi
hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun
memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
Tatkala Allah memenangkan bagi beliau
beberapa peperangan, beliau bersabda,
أَنَا أَوْلَى
بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ
قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
“Aku lebih pantas bagi orang-orang
beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih
meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa
yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini
menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan apakah pelunasan utang si
mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama
Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal.
Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]
Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si
mayit
Pembahasan ini telah kami jelaskan pada
tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang
mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur,
Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat
pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.
Dalil dari pendapat ini adalah hadits
‘Aisyah,
مَنْ مَاتَ
وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan
masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan
mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].
Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar
baik berupa puasa atau amalan lainnya
Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu
pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia
mengatakan,
إِنَّ أُمِّى
مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ
“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan
dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
اقْضِهِ عَنْهَا
“Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]
Kelima: Segala amalan sholih yang
dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah
meninggal dunia
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا
سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara
yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ مِنْ
أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari
makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil
jerih payah orang tua.”[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih
tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena
anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini
melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang
penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-,
dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat
pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik
anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang
tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk
mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.
Keenam: Bekas-bekas amalan sholih
(seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si
mayit
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ
الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ
يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, maka akan putus
amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil
manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]
Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit
Sedekah untuk mayit akan bermanfaat
baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى
الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ،
أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » .
قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah
radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada
di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku
telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah
bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun
yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]
Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al
Qur’an untuk Si Mayit
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah
ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau
sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada
kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala
tersebut untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang
mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam
khutbahnya,
خَيْرُ
الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Sebaik-baik perkataan adalah
kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan.
Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
خَيْرُ
الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah
generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ كَانَ
مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا
تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin
mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati.
Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus
diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa
landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin
generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya
mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam
ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al
Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan
mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah
kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah
diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup
sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup
mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat
yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka
ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang
puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula
terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.
Oleh karena itu, sebagian ulama
membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta,
semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati.
Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau
pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas
ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah
ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Oleh karena itu, tidak kita temui pada
kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau
membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum
muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum
muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan
yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh
melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih
sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam
Ibnu Taimiyah-[13]
Catatan: Yang dimaksudkan kirim
pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh
sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat
tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari
ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama
tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas
suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang
dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala
keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit
yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan
selanjutnya.
Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al
Qur’an?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia
diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka
pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri pernah bersabda,
إذَا مَاتَ
ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia itu mati, amalannya akan
terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang
dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu, setelah kematian si
mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan
amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan
juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara
selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an,
pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]
Seharusnya Keluarga Si Mayit yang
Diberi Makan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang
orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk
ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah
mengatakan,
كُنَّا نَعُدُّ
الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ
النِّيَاحَةِ
“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul
di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk
niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit
meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit
(bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,
اصْنَعُوا لِآلِ
جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Berilah makan untuk keluarga Ja’far
karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah
menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan,
“Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan
mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan
si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar
dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]
Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah
kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu
(seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a
tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk
kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk
melakukan hal semacam ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far
bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum,
mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka
sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat,
para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan
ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau
wirid tertentu).
Begitu pula para sahabat dahulu tidak
pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat
sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]
Demikian pembahasan kami mengenai
berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum
muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan
segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau
hingga akhir zaman.
Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3
Dzulqo’dah 1430 H
Sumber Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Taisir Karimir Rahman,
‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan
pertama, tahun 1420 H
[2] Taisir Al Karimir Rahman fi
Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.
[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu
Ad Darda’.
[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim
no. 1619
[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2,
Mawqi’ Al Islam
[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim
no. 1147
[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525
[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim
no. 1638
[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An
Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] HR. Muslim no. 1631
[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314,
Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H
[12] HR. Bukhari no. 2756
[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.
[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz,
13/211, Asy Syamilah
Artikel: Perumnas I Selada Raya
Kunjungi : Fatwa Ulama - Sejarah Islam dan Panduan Islam