Perkara Mubah Dengan Niat Ibadah
Kategori: Fiqh dan Muamalah
Alhamdulillah wa Shalatu wa Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala
Alihi wa As-habihi Ajma’in. Amma ba’du,
Masalah niat adalah masalah yang sering kita perbincangkan,
karena ia adalah masalah yang sangat pokok dalam agama kita.
Dengan niatlah
sebuah amalan dapat menjadi amalan yang pahalanya dapat sebesar Gunung Uhud dan
demikian pula sebaliknya sebuah amalan yang bernilai pahala sebesar Gunung Uhud
dapat menjadi amalan yang tidak bernilai pahala sedikitpun bahkan dapat
membinasakan pelakunya.
Masalah yang paling sering dibahas yang berhubungan dengan
niat adalah bagaimana suatu hal yang mubah dapat menjadi bernilai pahala di
sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Untuk itulah pada kesempatan kali ini kami
ketengahkan pembahasan dari perkataan para ulama dalam masalah ini.
Syaikh Nadzim Muhammad Sulthan Rahimahullah dalam kitabnya
Qawaa’id wal Fawaa’id min Al Arba’in An Nawawiyah mengetengahkan sebuah
sub-judul yang berkaitan dengan tema di atas. Beliau mengatakan, batasan
penting dalam hal yang berhubungan perpindahan suatu hal yang mubah menjadi hal
yang bernilai ibadah:[1].
Tidaklah diperbolehkan menjadikan suatu hal yang mubah
menjadi bentuk ibadah secara dzatiyah atau semata-mata melakukan hal mubah
tersebut menjadi sebuah bentuk peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah.
Semisal orang yang berjalan atau makan, berdiam diri atau
mengenakan pakaian menganggap semata-mata mengerjakan hal itu maka ia sudah
terhitung melakukan bentuk peribatan secara dzatiyah-nya. Oleh karena itulah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingkari Abu ‘Isra’il ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya berdiri/berjemur di bawah panas
matahari.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya mengapa ia melakukan
hal itu, maka ada seseorang yang mengatakan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bahwa Abu ‘Isra’il sedang memenuhi nadzarnya yaitu berdiri, tidak
duduk, tidak berteduh tidak berbicara ketika ia sedang puasa. Lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan,
مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ
وَلِيُتِمَّ صَوْمَه
“Panggillah dia ajak bicara, berteduh, duduk dan katakana
padanya untuk menyempurnakan/tetap melaksanakan puasanya”[1].
[2] Hendaklah hal yang mubah tersebut merupakan
jalan/washilah menuju ibadah.
Ibnu Asy Syaath mengatakan, “Jika hal yang mubah diniatkan dalam
rangka memperkuat keta’atan atau merupakan jalan/washilah maka hal-hal yang
mubah tersebut akan bernilai ibadah, semisal makan, tidur, mencari nafkah,
harta ……”.
Al Izz bin Abdus Salam berpendapat bahwa, “Seorang muslim
akan mendapatkan pahala dari hal-hal di atas berupa pahala atas niatnya bukan
perbuatannya”[2].
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Seyogya kita tidak melaksanakan
perkara-perkara yang mubah kecuali perkara mubah yang dapat membantu kita
melaksanakan keta’atan atau perbuatan mubah yang kita maksudkan untuk membantu
kita dalam keta’atan”.
[3]. Hendaknya ketika melakukan hal yang mubah meyakini
bahwasanya hal itu merupakan bagian dari syari’at
Seyogyanya bagi setiap muslim ketika melakukan hal mubah
meyakini bahwa Allah ‘Azza wa Jalla lah yang memubahkan hal tersebut dan Allah
menyukai jika kita mengambil keringanan/rukhshah-Nya[3] sebagaimana Allah
menyukai kita mengerjakan keta’atan-keta’atan kepada-Nya.
Demikian juga Allah
tidaklah menyukai kita bersikap mempersulit diri dalam perkara yang mubah[4].
Demikian juga Allah tidaklah ridha kita bersikap ghuluw/berlebihan dalam hal
yang mubah.
[diringkas dari kitab Qowaa’id wa Fawaa’id min Al Arab’in An
Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Sulthan hal. 24 terbitan Darul Hijrah, Riyadh,
KSA]
Sumber Penulis: Abu Syifa Aditya Budiman bin Usman Artikel Muslim.Or.Id
---------------------------------------------------------------------
[1] HR. Bukhari no. 6326
[2] Dari sini dapat kita pahami bahwa jika kita melakukan
perbuatan mubah sebagai washilah menuju/untuk ibadah maka kita mendapatkan
pahala dari Allah sebesar niatnya dan bukan perbuatan yang diniatkan menjadi
washilah tersebut. Sebagai contoh seseorang yang meniatkan mencari nafkahnya
untuk melaksanakan kewajiban Allah untuk menafkahi kepentingan hidup anak dan
istrinya maka yang mendapatkan pahala/yang bernilai ibadah adalah niatnya tersebut
dan bukan perbuatan mencari nafkahnya, Allahu a’lam.
[3] Dalam hal ini yang dimaksud adalah perkara yang mubah.
[4] Karena hal yang mubah adalah hal-hal yang dihalalkan
Allah. Maka orang yang mengerjakan suatu hal yang mubah ketika dia melakukan hal
ini tertanam dalam hatinya/diniatkan karena hal ini maka ia akan medapatkan
pahala sebesar niatnya tersebut.
Dari artikel 'Perkara Mubah Dengan Niat Ibadah —
Muslim.Or.Id'
Published by: Selada Raya, Rachmat Machmud Flimban
Temukan di Facebook