Assalamu'alaikum, Ustadz Farid Nu’man yang di rakhmati Allah.Ana mau menanyakan perihal hukum berjabat tangan seusai shalat berjamaah bagaimana hukumnya ustadz? Mengingat dikalangan masyarakat muslim Indonesia, aktivitas bersalaman setelah Shalat sangat banyak ditemui. Jazakallah sebelumnya (@ ami)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmtullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa man waalah, wa ba’du.
Pada dasarnya bersalaman setelah shalat wajib tidak disyariatkan (ghairu masyru’); tidak akan kita temukan tentang hal itu dalam Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, baik dalam bentuk kata perintah wajib atau mustahab (sunah). Sedangkan, wajib dan sunah adalah perkara yang mesti berasal dari pembuat syariat bukan hawa nafsu manusia yang menyangka baik sebuah perbuatan.
Di sisi lain, bersalaman adalah perbuatan yang secara mutlak (umum) memang dianjurkan dilakukan sesama muslim, dengan tanpa terikat oleh waktu, tempat, dan peristiwa tertentu. Kita dapat melakukannya ketika pagi, siang, sore, dan malam, ketika berdiri, duduk, dan berbaring, ketika diam atau berjalan, mukim atau musafir, bertemu dan berpisah, di majelis dan di luar majelis, atau kapan pun, termasuk juga setelah shalat, sebab hal itu termasuk lingkup kemutlakannya.
Namun, masalah mulai timbul ketika bersalaman setelah shalat telah menjelma menjadi adat dan tradisi baru secara khusus, yang jika ditinggalkan oleh pelakunya, mereka merasa ada sesuatu yang hilang, atau tidak nyaman, dan mereka baru tentram dihati ketika bersalaman itu mereka lakukan kembali. Seakan bersalaman adalah ibadah yang terkait dengan shalat itu sendiri.
Ini benar-benar telah terjadi di sebagian fenomena masyarakat Islam. Manakala ada manusia yang tidak mengikuti tradisi ini serta merta orang tersebut dituduh dengan berbagai tuduhan yang jelek. Pada titik ini, bersalaman setelah shalat telah menjadi wujud baru dalam ritual Islam yang tidak ada dasarnya. Oleh karena itu, masalah ini sangat bersifat kasuistis dan kondisional, tidak dibenarkan secara mutlak dan tidak disalahkan secara mutlak pula.
Sebab, memang ada orang yang bersalaman setelah shalat telah menjadi tradisi baginya, setelah dia mengucapkan salam langsung sibuk memutar badan kanan kiri dan belakang untuk bersalaman, dan itu dilakukan lagi pada kesempatan shalat lainnya, sehingga ada jamaah merasa terganggu. Ada pula yang bersalaman karena memang dia baru berjumpa dengan sahabat di kanan kirinya, yang baru ada kesempatan bersalaman setelah shalat. Ada juga yang bersalaman setelah shalat karena dia diajak untuk bersalaman, dia bukan inisiatornya, dan itu pun bukan kebiasaannya, yang jika dia tolak akan melukai hati saudaranya. Nah, semua ini tentu tidak bisa dinilai secara sama.
Dalil-Dalil Umum Bersalaman
Dari Bara bin ‘Azib Radhialllahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مامن مسلمين يلتقيان، فيتصافحان، إلا غفر لهما، قبل أن يتفرقا
“Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud No. 5212, At Tirmidzi No. 2727, Ibnu Majah No. 3703, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya, Al Misykah Al Mashabih No. 4679, Shahihul Jami’ No. 5777, dan lainnya)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قلنا: يا رسول الله! أينحني بعضنا لبعض؟ قال ((لا)). قلنا: أيعانق بعضنا بعضا؟ قال ((لا. ولكن تصافحوا)).
Dari Anas pula:
كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا ، وإذا قدموا من سفر تعانقوا
Dari Ka’ab bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
دخلت المسجد، فإذا برسول الله صلى الله عليه وسلم، فقام إلي طلحة بن عبيد الله يهرول حتى صافحني وهنأني.
Berkata Qatadah Radhiallahu ‘Anhu:
قلت لأنس: أكانت المصافحة في أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: نعم.
Dan masih banyak lainnya.
Berbagai riwayat dan atsar di atas menunjukkan masyru’-nya bersalaman bagi sesama muslim yakni pria dengan pria, atau wanita dengan wanita. Dan, hal ini mutlak kapan saja. Para ulama yang menyunnahkan dan membolehkan berjabat tangan setelah shalat berdalil dengan riwayat-riwayat ini, bagi mereka berbagai riwayat ini tidak membatasi hanya saat pertemuan. Sedangkan, dalil ‘aam (umum) dan muthlaq (tidak terikat) adalah menjadi dalil kuat yang mesti dipakai selama belum ada dalil khash (spesifik) dan muqayyad (mengikat) yang mengalihkan kemutlakannya. Nah, dalam bersalaman ini dalil-dalil bersifat ‘aam di atas tetaplah dapat dijadikan dalil untuk bersalaman kapan saja, karena memang tidak ada dalil khusus yang mengalihkannya.
Sedangkan bagi pihak yang memakruhkan bahkan membid’ahkannya, mereka menilai bahwa yang terjadi adalah bersalaman setelah shalat menjadi kebiasaan tersendiri di masyarakat yang mereka sandarkan kepada agama dan ibadah, dan fakta inilah yang sesungguhnya terjadi, oleh karena itu dibutuhkan dalil secara khusus untuk mengukuhkannya, jika tidak ada, maka itu tertolak (baca: bid’ah).
Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, masalah ini tidak bisa digebyah uyah begitu saja karena sifatnya yang sangat personal dan kasuistis. Oleh karena itu, mesti dilihat menurut rincian sebagai berikut:
Jika melakukannya karena si pelaku menganggap bersalaman adalah bagian dari shalat, maka tidak syak lagi, ini adalah bid’ah dhalalah, karena dia telah memasukkan dalam ritual peribadatan yang bukan bagian darinya, walau pun ini hanya dilakukan sekali.
Jika melakukannya tidak dianggap bagian dari shalat, tapi dilakukan berulang-ulang dan menjadi adat tersendiri sehingga dipandang memiliki keutamaan tersendiri pula, yang jika ditinggalkan mereka merasa bersalah, maka ini pun bisa berpotensi menjadi bid’ah dalam ibadah. Sebaiknya ditinggalkan, sebab jika amaliah yang benar-benar sunah saja nabi tidak terus menerus melakukan karena khawatir dianggap wajib, apalagi perbuatan yang masih debatable para ulama. Sungguh, keluar dari khilafiah adalah lebih baik.
Jika melakukannya dalam kondisi dia baru berjumpa dengan saudaranya, maka itu tidak mengapa, bahkan bagus walau pun berasal dari inisiatifnya sendiri, dan termasuk aplikasi hadits Bara bin ‘Azib: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu mereka bersalaman melainkan Allah ampuni mereka berdua selama sebelum berpisah
Jika melakukannya bukan inisiatifnya, tetapi dia dalam keadaan berjamaah shalat bersama kaum yang biasa melakukannya dan mereka mengajaknya bersalaman, lalu dia sulit menghindar dan dapat melukai perasaan saudaranya itu jika dia menghindar, maka tidak mengapa dia bersalaman. Hal ini, demi menjaga perasaan sesama muslim, menyatukan hati, dan menghindari kebencian satu sama lain. Dengan demikian dia menjalankan mudharat demi menghindari mudharat yang lebih besar dan berkepanjangan. Sikap ini merupakan ‘ibrah dari sikap elegan Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu yang membid’ahkan qunut subuh tetapi beliau tetap ikut berqunut jika imam melakukannya, demi menjaga kesatuan hati, kesamaan kata, dan menghilangkan permusuhan. Fa’tabiruu ..!
Dan, rincian inilah yang menjadi pegangan kami dalam memandang permasalah ini. Wallahu A’lam
Pandangan Para Ulama
Berikut ini adalah pandangan para imam ahlus sunnah yang patut kita jadikan bahan pemikiran. Semua kami paparkan sebagai amanah dan kejujuran ilmiah, bahwa memang perselisihan para ulama dalam hal ini memang wujud (ada). Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap pandangan salah satu dari mereka, yang jelas, pandangan mereka tidak lepas dari menyunnahkan, membolehkan dan memakruhkan bahkan membid’ahkan, dengan alasan masing-masing yang telah kami sebutkan di atas.
Kami akan membagi dua kelompok, yakni ulama yang menyetujui (baik mengataan sunah atau mubah) dan ulama yang menolak (baik yang memakruhkan atau membid’ahkan).
Para Ulama Yang Menyetujui
Mereka adalah sederatan imam kaum muslimin yang nama besar mereka menjadi jaminan kualitas pandangan dan keilmuannya.
1. Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan dalam kitabnya Al Hawi Al Kabir:
إِذَا فَرَغَ الْإِمَامُ مِنْ صَلَاتِهِ فَإِنْ كَانَ مَنْ صَلَّى خَلْفَهُ رِجَالًا لَا امْرَأَةَ المصافحة بعد الصلاة فِيهِمْ وَثَبَ سَاعَةَ يُسَلِّمُ لِيَعْلَمَ النَّاسُ فَرَاغَهُ مِنَ الصَّلَاةِ
2. Imam ‘Izzuddin (Al ‘Izz) bin Abdussalam Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 660H)
Beliau memasukkan bersalaman setelah shalat subuh dan ‘ashar sebagai bid’ah yang boleh (bid’ah mubahah). Berikut perkataannya:
والبدع المباحة أمثلة. منها: المصافحة عقيب الصبح والعصر، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام.
3. Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah (w. 676H)
Beliau juga berpendapat mirip dengan Imam Ibnu Abdissalam di atas. Namun, beliau menambahkan dengan beberapa rincian. Berikut perkataannya:
وَأَمَّا هَذِهِ الْمُصَافَحَةُ الْمُعْتَادَةُ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ فَقَدْ ذَكَرَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ رحمه الله أَنَّهَا مِنْ الْبِدَعِ الْمُبَاحَةِ وَلَا تُوصَفُ بِكَرَاهَةٍ وَلَا اسْتِحْبَابٍ، وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ حَسَنٌ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يُقَالَ: إنْ صَافَحَ مَنْ كَانَ مَعَهُ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَمُبَاحَةٌ كَمَا ذَكَرْنَا، وَإِنْ صَافَحَ مَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ قَبْلَهَا فَمُسْتَحَبَّةٌ؛ لِأَنَّ الْمُصَافَحَةَ عِنْدَ اللِّقَاءِ سُنَّةٌ بِالْإِجْمَاعِ لِلْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ فِي ذَلِكَ
Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan;
واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء، وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه، ولكن لا بأس به، فإن أصل المصافحة سنة، وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها، لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها.
4. Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i (w. 974H)
Beliau memfatwakan tentang sunahnya bersalaman setelah shalat walau pun shalat id. (Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah ‘Ala Madzhab Al Imam Asy Syafi’i, 4/224-225. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul Kutub Al ‘Ilmiah, Beirut - Libanon)
Dalam kitabnya yang lain beliau berkata:
وَلَا أَصْلَ لِلْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيْ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا فَإِنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ الْمُصَافَحَةِ ، وَقَدْ حَثَّ الشَّارِعُ عَلَيْهَا
5. Imam Al Muhib Ath Thabari Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau termasuk ulama yang menyunnahkan bersalaman setelah shalat, dalilnya adalah hadits shahih riwayat Imam Bukhari berikut:
Dari Abu Juhaifah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ
كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ
`
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada saat siang yang panas menuju Al Bath-ha’, beliau berwudhu kemudian shalat zhuhur dua rakaat, dan ‘ashar dua rakaat, dan ditangannya terdapat sebuah tombak.” Syu’bah mengatakan, dan ‘Aun menambahkan di dalamnya, dari ayahnya, dari Abu Juhaifah, dia berkata: “Dibelakangnya lewat seorang wanita, lalu manusia bangun, mereka merebut tangan nabi, lalu mereka mengusap wajah mereka dengan tangan beliau. Abu Juhaifah berkata: aku pegang tangannya lalu aku letakan tangannya pada wajahku, aku rasakah tangannya lebih sejuk dari salju, lebih wangi dari wangi kesturi.” (HR. Bukhari No. 3360, Ad Darimi No. 1367, Ahmad No. 17476)
Al Muhib Ath Thabari Rahimahullah mengomentari hadits ini;
ويستأنس بذلك لما تطابق عليه الناس من المصافحة بعد الصلوات في الجماعات لا سيما في العصر والمغرب إذا اقترن به قصد صالح من تبرك أو تودد أو نحوه
6. Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah
Dalam kitab Fatawa-nya tertulis:
( سُئِلَ ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا
(Beliau menjawab): “Sesungguhnya apa yang dilakukan manusia berupa bersalaman setelah shalat tidaklah ada dasarnya, tetapi itu tidak mengapa.” (Fatawa Ar Ramli, 1/385. Syamilah)
7. Imam Abdurrahman Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata ketika membahas tentang shalat Id:
وَالْمُسْتَحَبُّ الْخُرُوجُ مَاشِيًا إلَّا بِعُذْرٍ وَالرُّجُوعُ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ عَلَى الْوَقَارِ مَعَ غَضِّ الْبَصَرِ عَمَّا لَا يَنْبَغِي وَالتَّهْنِئَةِ بِتَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ ؛ لَا تُنْكَرُ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَكَذَا الْمُصَافَحَةُ بَلْ هِيَ سُنَّةٌ عَقِيبَ الصَّلَاةِ كُلِّهَا وَعِنْدَ الْمُلَاقَاةِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْفُضَلَاءِ
8. Imam Al Hashfaki Al Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan;
أي كما تجوز المصافحة لانها سنة قديمة متواترة لقوله عليه الصلاة والسلام: من صافح أخاه المسلم وحرك يده تناثرت ذنوبه وإطلاق المصنف تبعا للدرر والكنز والوقاية والنقاية والمجمع والملتقى وغيرها يفيد جوازها مطلقا ولو بعد العصر، وقولهم إنه بدعة: أي مباحة حسنة كما أفاده النووي في أذكاره
9. Syaikh ‘Athiyah Shaqr (mantan Mufti Mesir)
Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah sunah ketika seorang muslim bertemu muslim lainnya, berdasarkan hadits-hadits nabi yang bisa dijadikan hujjah. Namun bersalaman setelah shalat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat. Lalu beliau memaparkan perbedaan ulama tentang masalah ini, antara yang membid’ahkan, menyunnahkan, dan membolehkan; seperti pendapat Imam Ibnu Taimiah, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar. Lalu beliau menyimpulkan:
والوجه المختار أنها غير محرمة ، وقد تدخل تحت ندب المصافحة عند اللقاء الذى يكفر الله به السيئات ، وأرجو ألا يحتد النزاع فى مثل هذه الأمور ….
“Pendapat yang dipilih adalah bahwa hal itu tidaklah haram, dan hal itu telah termasuk dalam anjuran bersalaman ketika bertemu yang dengannya Allah Ta’ala akan menghapuskan kesalahannya, dan saya berharap perkara seperti ini jangan terus menerus diributkan. … (Fatawa Dar Al Ifta’ Al Mishriyah, 8/477. Syamilah).
Dan masih banyak ulama lainnya.
Para Ulama Yang Menolak
Mereka juga merupakan imam agama yang menjadi kecintaan dan rujukan umat ini. Di antaranya:
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah (w. 728H)
Berikut ini dari kitab Majmu’ Fatawa-nya:
وسئل : عن المصافحة عقيب الصلاة : هل هي سنة أم لا ؟
فأجاب :
الحمد للَّه، المصافحة عقيب الصلاة ليست مسنونة، بل هي بدعة . والله أعلم .
Beliau menjawab: “Alhamdulillah, bersalaman sesudah shalat tidak disunahkan, bahkan itu adalah bid’ah.” Wallahu A’lam (Majmu’ Fatawa, 23/339).
Imam Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang menolak pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, apalagi pembagian bid’ah menjadi lima; bid’ah yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Baginya semua bid’ah adalah dhalalah (sesat). Maka, maksud bid’ahnya salaman berjamaah dalam fatwanya di atas adalah bid’ah yang sesat.
2.Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah (w. 1420H)
Beliau ditanya tentang sebagian manusia yang setelah shalat menjulurkan tangan untuk bersalaman ke kanan dan ke kirinya, beliau menjawab:
المصافحة بعد سلام الإمام ليس لها أصل بل إذا سلم يقول…
Lalu beliau melanjutkan:
وأما رفع اليدين بعد السلام فليس له أصل لا الإمام ولا المأموم ، لا يرفع يده بالدعاء ولا يصافح إذا سلم ، لكن يأتي بالذكر الشرعي….
3. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi An Najdi Al Hambali Rahimahullah (w. 1392H)
Beliau berkata:
والمصافحة بعد السلام من الصلاة لا أصل لها، لا بنص ولا عمل من الشارع وأصحابه، ولو كانت مشروعة لتوفرت الهمم على نقلها، ولكان السابقون أحق بذلك، وقال الشيخ: بدعة باتفاق المسلمين أما إذا كانت أحيانا لكونه لقيه عقب الصلاة، لا لأجل الصلاة فحسن، لكن عند اللقاء فيها آثار حسنة.
4.Para Ulama di Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia
Berikut kami kutip dari Fatawa Islamiyah:
ما حكم الشرع في المصافحة عقب الصلاة ، هل هي بدعة أم سنة ، وبيان أدلة الحكم ؟
ج المصافحة عقب الصلاة بصفة دائمة لا نعلم لها أصلاً ، بل هي بدعة وقد ثبت عن رسول صلى الله عليه وسلم أنه قال " من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد " . وفي رواية " من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد " .
اللجنة الدائمة
Jawab:
“Bersalaman setelah shalat dengan keadaan yang dilakukan terus menerus kami tidak ketahui dasar dari perbuatan itu, bahkan itu adalah bid’ah. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: Barang siapa yang beramal yang tidak kami perintahkan maka itu tertolak.” Dalam riwayat lain: Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang bukan berasal darinya maka itu tertolak.” Lajnah Daimah (Fatawa Islamiyah, 1/ 268. Dikumpulkan dan disusun oleh; Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid )
5 Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah (w. 1421H)
Dalam fatwanya beliau berkata:
المصافحة بين الرجل وأخيه سنة عند الملاقاة فقط وأما بعد السلام من الصلاة المفروضة فإنها ليست بسنة إذ لم ينقل عن الصحابة رضي الله عنهم أنهم كانوا إذا سلموا من الفريضة صافح بعضهم بعض وأما بعد السلام من النافلة فهي سنة إذا كان ذلك من الملاقاة مثل أن يأتي رجل فيقف في الصف فيصلى تحية المسجد فإذا سلم من الصلاة صافح من على يمنه ويساره فإن هذا يدخل في المصافحة عند الملاقاة ولا يعد هذا بدعة
6. Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah
Beliau salah seorang tokoh Hanafiyah muta’akhirin. Pada bagian ini kita melihat bahwa yang menolak bersalaman setelah shalat biasanya adalah dari kalangan Hambaliyah. Tetapi, beliau mengisyaratkan –paling tidak dirinya sendiri- bahwa dari kalangan Hanafiyah ada yang tidak menyukainya.
Beliau mengatakan:
لَكِنْ قَدْ يُقَالُ إنَّ الْمُوَاظَبَةَ عَلَيْهَا بَعْدَ الصَّلَوَاتِ خَاصَّةً قَدْ يُؤَدِّي الْجَهَلَةِ إلَى اعْتِقَادِ سُنِّيَّتِهَا فِي خُصُوصِ هَذِهِ الْمَوَاضِعِ وَأَنَّ لَهَا خُصُوصِيَّةً زَائِدَةً عَلَى غَيْرِهَا مَعَ أَنَّ ظَاهِرَ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهَا أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ
7. Imam Ibnu Al Hajj Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
هذه المصافحة من البدع التي ينبغي أن تمنع في المساجد ، لأن موضع المصافحة في الشرع إنما هو عند لقاء المسلم لأخيه لا في أدبار الصلوات الخمس ، فحيث وضعها الشرع توضع ، فينهى عن ذلك ويزجر فاعله ، لما أتى من خلاف السنة
Dan masih banyak ulama lainnya.
Semoga bermanfaat, dan dapat mengambil sikap yang terbaik di tengah masyarakat.
Wallahu A’lam
Sumber Artikel Islamedia.web.id
Tata Letak Posting
Artikel:Perumnas I Selada Raya
Ingin Mendapat Tambahan Pahala dan Terkabul Do'a?
Sebarkan informasi ini, agar Anda mendapat Pahala Berbagai Ilmu Bermanfaat
Do'kan kebaikan untuk kami, agar Anda mendapat Kebaikan Yang sama
Do'akanlah agar pengelola website ini beserta keluarga besarnya Allah jadikan panjang umur dan bertakwa, diampuni segala dosa, sehat-kaya-bahagia hingga akhir usia. Dengan mendo'akan kebaikan untuk kami, Insya Allah Anda mendapat kebaikan yang sama.
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda : "Do'a seseorang muslim untuk saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do'a yang mustajab (terkabulkan). Disisinya ada malaikat yang bertugas (mengaminkan do'a-nya). Setiap kali dia mendo'akan kebaikan untuk saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengan-nya." {HR. Muslim no. 2733}.
![]() |
Kunjungi TUNTUNAN ISLAM |
Kunjungi CENTRAL SELADA RAYA | |
![]() |